PALU – Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) RI Sulawesi Tengah (Sulteng), mengapresiasi rencana Gubernur Sulteng untuk membentuk tim penyelesaian konflik agraria.
Rencana tersebut disampaikan pasca unjuk rasa penolakan tambang di Kabuupaten Parigi Moutong (Parimo) yang menewaskan massa aksi bernama Erfaldi (21).
“Namun demikian, kami hendak mengingatkan kepada Gubernur agar jangan hanya karena atas dasar terciptanya jaminan kepastian hukum terhadap investasi yang dijadikan landasan utama pembentukan tim penyelesaian konflik agraria di Sulawesi Tengah,” ujar Kepala Perwakilan Komnas HAM-RI Sulteng, Dedi Askary, Rabu (23/02).
Menurutnya, yang terpenting dan sangat fundamental adalah bagaimana masuknya berbagai investasi di Sulteng, juga memberi jaminan dan kepastian hukum kepada masyarakat. Pemanfaatan ruang atas Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) oleh para investor juga dapat dipastikan tidak merampas aset-aset produksi dan sumber-sumber penghidupan masyarakat.
“Hal ini menjadi sangat penting untuk terus kami dan semua pihak ingatkan. Ini tentunya sangat berkait erat dengan nestapa yang terjadi dan menimpa masyarakat Sulawesi Tengah sehubungan dengan perilaku atau praktik-praktik curang para pemilik modal untuk mendapatkan rente dalam menjalankan usaha mereka di Sulteng,” tuturnya.
Ia mencontohkan dampak dan keluhan rantai pasok PT ANA yang dikecam oleh masyarakat setempat karena merambah tanah mereka yang sah sejak tahun 1994 di Petasia Timur, Kabupaten Morowali
Utara. Di wilayah itu, perusahaan dikecam karena mengerahkan TNI untuk memberangus penolakan petani.
“Petani Desa Malino menuduh perusahaan melakukan perampasan dengan kekerasan atas 996 hektar lahan masyarakat pada tahun 2006 sampai 2007 dengan menggunakan izin lokasi (pembebasan lahan) yang diduga kuat ilegal dan curang,” ungkapnya.
Kata dia, perusahaan juga disalahkan karena menempatkan tentara di konsesinya untuk mengintimidasi dan menindas masyarakat.
“PT ANA terus-menerus berupaya mengkriminalisasi penduduk desa dengan menuduh mereka mencuri buah sawit perusahaan, ketika petani menegaskan bahwa buah tersebut ditanam di tanah mereka sendiri yang dirampas oleh perusahaan,” katanya.
Ia juga mengungkapkan perusahaan-perusahaan dalam grup AALI yang diduga telah merampas tanah masyarakat adat Kaili Tado di Desa Mbulava dan menyewa Brimob agar perusahaan dapat secara paksa memperoleh tanah masyarakat, termasuk di Desa Taviora, Minti Makmur, Tinuaka dan Rio Mukti, di Kabupaten Donggala.
“Di Desa Minti Makmur, warga mencoba membela diri dengan merampas senjata Brimob, tiga warga desa dipenjara selama empat bulan karena melindungi masyarakatnya. Selain itu, kepala desa menghilang dan beredar spekulasi bahwa ini adalah penculikan paksa,” ungkapnya/
Dedi juga membeberkan beberapa peristiwa lain yang dialami masyarakat sebagai respon investor dengan menggunakan alat kekuasaan negara untuk merepresi, semisal bentrok masyarakat dan aparat kepolisian di lokasi pengeboran minyak lepas pantai di Tiaka, Kecamatan Mamosalato, Senin 22 Agustus 2011 silam. Peristiwa itu telah merenggut dua korban jiwa.
Selanjutnya, bentrok yang berujung penembakan aparat kepolisian terhadap lima masyarakat saat berunjuk rasa menolak keberadaan PT Cahaya Manunggal Abadi. Dalam peristiwa tersebut, satu dari lima orang yang tertembak, meninggal dunia saat dirawat di rumah sakit.
Dedi juga menguraikan peristiwa lain di Sulteng yang mengakibatkan masyarakat kehilangan nyawa, termasuk bentrok antara masyarakat dan aparat di Kabupaten Buol pada Sabtu 19 April 2014 dan lagi-lagi merenggut korban jiwa.
“Rangkaian peristiwa dan tindak kekerasan oleh alat negara terus terjadi secara berulang, hingga pada peristiwa demonstrasi tolak tambang di Kabupaten Parigi Moutong tanggal 12 sampai 13 Februari 2022 lalu,” ujarnya.
Kata dia, rangkaian peristiwa kekerasan tersebut menyebabkan telah terjadi pelanggaran HAM serius terhadap masyarakat, dia ntaranya masyarakat kehilangan hak tenurial, berbagai ragam kekerasan baik secara fisik maupun dengan senjata, intimidasi dan kriminalisasi pembela HAM, perampasan lahan, penggusuran, penghilangan aset-aset produksi dan aset-aset penghidupan lainnya yang dimiliki masyarakat. ***