Oleh: Mohamad Fadlian Syah

Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 diatur tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (lansia). Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan lansia adalah kelompok masyarakat yang telah berusia 60 tahun ke atas. Berbagai hak lansia telah dijamin di dalamnya, antara lain hak atas pelayanan spiritual dan keagamaan, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas pelayanan kesempatan kerja, hak atas pelayanan pendidikan dan pelatihan, kemudahan menggunakan fasilitas, sarana dan prasarana publik, kemudahan dalam layanan bantuan hukum, perlindungan sosial, dan hak atas bantuan sosial.

Dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021, secara nasional populasi penduduk lansia sebesar 10,82 persen atau sekitar 29,3 juta jiwa, nilai ini meningkat sebesar 0,9 poin persen dibandingkan tahun 2020 sebesar 9,92 persen. Angka tersebut diproyeksi akan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 19,9 persen pada tahun 2045 (BPS, 2021). Jumlah ini tentu saja tidak dapat dipandang sebagai sekedar angka, akan tetapi sangat penting untuk menjadi pertimbangan penting dalam rencana pembangunan sesuai cita-cita Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu No One Left Behind. Khususnya dalam SDGs goal 3 yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia dapat tercapai. Salah satunya, untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lanjut usia.

Peningkatan ageing population ini disebabkan semakin membaiknya infrastruktur dan layanan kesehatan, tingkat kelahiran yang terkendali, menurunnya tingkat kematian dan meningkatnya angka harapan hidup. Menurut Heryanah 2015, fenomena penuaan penduduk (ageing population) bisa dimanfaatkan sebagai bonus demografi kedua, dimana Ketika suatu negara mengalami peningkatan populasi lansia yang masih produktif dan dapat memberikan sumbangan bagi perekonomian, maka negara tersebut tengah mengalami bonus demografi kedua. Akan tetapi, kondisi ini membutuhkan prasyarat tersedianya lansia yang sejahtera dan produktif dalam jumlah yang cukup. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan dan program kebijakan di bidang kesejahteraan lanjut usia yang didukung oleh ketersediaan data dan informasi yang memadai.

Berdasarkan Susenas Maret 2021, persentase penduduk lansia Sulawesi Tengah sebesar 8,96 persen, nilai ini meningkat sebesar 0,59 poin persen dibanding Maret 2020 yaitu sebesar 8,37 persen. Penduduk lansia yang tinggal di perdesaan ternyata lebih banyak dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan yaitu 9,24 persen berbanding 8,34 persen. Lebih lanjut menurut jenis kelamin, persentase penduduk lansia perempuan sebesar 9,18 persen, nilai ini lebih banyak 0,44 poin persen jika dibandingkan penduduk lansia laki-laki yang hanya sebesar 8,74 persen.

Bertambahnya penduduk lansia mempunyai pengaruh pada angka rasio ketergantungan, dimana rasio ketergantungan ini merupakan perbandingan antara penduduk usia tidak produktif dengan penduduk usia produktif. Indikator rasio ketergantungan lansia ini digunakan untuk melihat tingkat kemandirian penduduk lansia dan beban ekonomi penduduk usia produktif terhadap lansia. Dengan bertambahnya penduduk lansia sebagai kelompok yang kurang produktif, maka beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai kehidupan penduduk yang tidak produktif secara otomatis akan meningkat. Tahun 2021, rasio ketergantungan lansia Sulawesi Tengah sebesar 13,89. Angka ini berarti bahwa setiap 100 penduduk usia produktif (usia 15-59 tahun) harus menanggung setidaknya 14 penduduk lansia. Peningkatan penduduk lansia berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan, diantaranya perawatan sehingga hal ini menjadi beban ekonomi penduduk usia produktif dalam pembiayaan penduduk lansia. Untuk itu perlu adanya peningkatan sinergi dalam pelaksanaan program bagi lansia yang dapat mengurangi beban ketergantungan pada lansia pada kelompok usia produktif. Hal ini bertujuan agar lansia tetap sehat, mandiri dan aktif selama mungkin untuk mendorong pertumbuhan ekonomi selama lansia bekerja.

Data Susenas Maret 2021 juga menunjukkan bahwa di Sulawesi Tengah sebanyak 7,17 persen lansia tinggal sendiri, dimana persentase lansia perempuan yang tinggal sendiri sekitar tiga kali lipat dari lansia laki-laki (10,43 persen berbanding 3,84 persen). Hal ini dapat menimbulkan kerentanan pada penduduk lansia yang tinggal sendiri, diantaranya kerentanan tidak tertolong pada saat mengalami sakit, kerentanan dalam kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya.

Angka kesakitan penduduk lansia Sulawesi Tengah lebih seperempat dari total penduduk lansia yaitu sebesar 27,34 persen. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar satu dari empat penduduk lansia di Sulawesi Tengah mengalami sakit dalam sebulan terakhir yang menyebabkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Namun jika dirinci menurut jenis kelamin, persentase lansia perempuan yang mengalami angka kesakitan lebih besar daripada penduduk lansia laki-laki yaitu 30,63 persen berbanding 23,98 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum, angka kesakitan yang dialami penduduk lansia laki-laki tidak menghambat untuk melakukan aktivitas atau kegiatan sehari-hari daripada penduduk lansia perempuan.

Peningkatan jumlah penduduk lansia berpotensi memberikan banyak keuntungan jika para penduduk lansia tetap sehat dan produktif, karena sebagai penduduk senior, mereka  mempunyai beberapa kelebihan diantaranya menjadi pelestari nilai-nilai kesetiakawanan sosial, pemelihara sekaligus pewaris budaya bangsa kepada generasi sesudahnya. Oleh karena itu dibutuhkan peran semua pihak diantaranya keluarga, lingkungan, dan masyarakat sekitar, untuk membuat mereka merasa aman dan nyaman dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa peran yang dapat dilakukan diantaranya perubahan perilaku ke arah hidup bersih dan sehat dalam tatanan keluarga masyarakat, perbaikan kondisi lingkungan sekitar, dan membantu penyelenggaraan pelayanan kesehatan serta evaluasinya bagi penduduk lansia.

*Penulis adalah ASN BPS Provinsi Sulawesi Tengah