OLEH: Muhammad Khairil*

We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are eternal and perpetual, and those interests it is our duty to follow. (Henry John Temple Palmerston).

Rasanya sangat wajar, ketika kebaikan berbalas dengan kebaikan yang sama atau bahkan kebaikan yang lebih baik. Sebaliknya, menjadi sebuah ironi andai kebaikan itu lalu berbalas keburukan ibarat air susu dibalas air tuba.

Sungguh menjadi sebuah kemuliaan, andai kita diperlakukan buruk, namun menata hati tetap menjadi manusia baik, jauh dari dengki, terlebih dendam, apa lagi saling menghasut orang lain dengan bahasa kebencian. Memaafkan menjadi kunci kemuliaan hati seseorang.

Hidup itu tidak saja tentang hari ini, tapi juga tentang hari kemarin, tentang cerita dan kenangan kita juga tentang orang-orang yang ada di balik masa lalu. Siapa kita hari ini, akan sangat ditentukan dari budi kebaikan orang lain di masa lalu.

Tentu hidup ini tidaklah tunggal. Kita hidup dari kehidupan orang lain. Hukum sosial itu menyuratkan bahwa hidup ini tidak hanya butuh interaksi tapi juga transaksi. Hubungan antar sesama menjadikan hidup ini penuh makna bukan hanya di “Mata Najwa” tapi juga di mata makhluk sesama terlebih di mata Tuhan.

Dunia tidaklah selebar daun kelor kawan, kata seorang kawan. Dunia ini luas bahkan lebih luas dari sekedar mata kita memandang alam semesta. Percayalah sekali kaki melangkah, maka kita tidak hanya mengenal manusia yang baik, tapi ada saja yang culas, iri, dengki dan penuh dendam.

Dulu sahabat, kini seolah bagai musuh. Dulu akrab bagai saudara, kini seolah tak saling kenal bahkan ada rasa benci dan dendam. Sebaliknya, dulu bagai musuh, dibenci juga dicaci, seiring waktu kini seolah sahabat bahkan bagai saudara.

Ironis, andai begitu besar jasa sahabat lalu seolah berbalas tuba. Sakitnya “tuh disini”, ketika kepercayaan itu berbalas pengkhianatan. Orang yang kita tempatkan di tempat yang lebih baik namun justru bagai kacang lupa akan kulit. Kebaikan itu sirna seiring ambisi dan hasrat kuasa.

Dalam konteks politik kekuasaan, seperti yang diungkap oleh Hendry John Temple Palmerston, mantan Menteri Luar Negeri Inggris di era tahun 1846-1851 yang ia sampaikan dihadapan parlemen inggris bahwa :

“We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are eternal and perpetual, and those interests it is our duty to follow”

Palmerston terpilih menjadi Perdana Menteri Inggris pada tahun 1855-1858 di usianya yang tidak lagi muda, 70 tahun. Sejarah bahkan mencatat, Lord Palmerston adalah orang tertua yang pernah ditunjuk sebagai Perdana Menteri Inggris.

Palmerston telah mendominasi kebijakan politik luar negeri Inggris di tengah pergolakan politik yang terjadi di Eropa sekitar abad ke-19. Ia berpandangan bahwa kerajaan Inggris harus pandai menempatkan diri dan menyesuaikan situasi ditengah konstelasi politik luar negeri juga domestik.

We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies, ungkap sang politisi, Palmerston. Inilah fakta politik kuasa yang tak terbantahkan dan juga dipertontonkan dalam berbagai panggung politik.

Catatan digital menjadi saksi, bagaimana Jusuf Kalla riuh dalam persimpangan politik dengan Joko Widodo walau akhirnya mesra dalam kabinet kerja periode 2014-2019. Tak terbantahkan bagaimana kita dipertontonkan politik kuasa “cebong vs kampret” jelang pilpres 2019, walau akhirnya kini bersanding mesra dalam transaksi kuasa politik.

Sungguh, tidak ada yang abadi dalam politik. Cair dan sangat lentur, fleksibel bahkan mengalir bagai air. Mereka yang pandai bermain politik dari hulu ke hilir, tentu akan menyesuaikan arus air yang mengalir. Berbanding terbalik, mereka yang melawan arus, hanya punya dua pilihan, “tenggelam atau ditenggelamkan”.

Menjadi “sahabat” dalam politik hari ini, mungkin esok bagai “musuh” yang tak saling menyapa. Hari ini berbalas susu, hari esok berbalas tuba. Hari ini punya kuasa, hari esok bukan lagi siapa siapa.

Hidup ini berputar kawan, ungkap seorang sahabat. Olehnya, atas nama kuasa, budi kita hari ini boleh jadi menjadi “tuba” di hari esok. Mereka yang duduk dalam kuasa lalu lalai dan seolah lupa akan “budi”, seiring waktu akan menjadi “karma” untuk diri mereka sendiri.

Menjadi “kumbang” dalam politik kuasa, hanya akan menghisap sari dari bunga yang mekar, ketika layu, mereka pun akan mencari bunga yang lebih segar lagi. Inilah panggung politik pragmatis, Hasrat dan ambisi kuasa, ibarat “kumbang” yang selalu berpindah dari satu bunga ke bunga yang lebih mekar.

Sebaliknya, menjadi “lebah” dalam panggung kuasa, maka mereka akan bekerja secara bersama, tidak saling mengkhianati dan tunduk pada satu pimpinan. Walau para lebah memiliki tugas masing-masing namun ketika mendapatkan sumber sari madu, mereka saling memanggil untuk bersama sama menghisapnya.

Dibalik karakter seekor lebah, mereka tidak pernah melukai kecuali merasa terancam. Lebah tidak pernah memulai menyerang, namun untuk mempertahankan “kehormatan” para lebah, mereka rela mati dengan melepas sengatnya.

“Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih, dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya)” Sabda Sang Nabi yang ditulis dalam Riwayat Ahmad, al-Hakim, dan al-Bazzar.

*Penulis adalah Dosen Pada Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untad