OLEH: Sitti Rahmawati, S.Tr.Stat*
Kesetaraan gender merupakan tujuan pembangunan di banyak negara, terutama yang memiliki kesenjangan pembangunan yang besar. Bahkan, isu ini menjadi Sustainable Development Goals (SDGs) ke-5 dari 17 tujuan yang ingin dicapai oleh negara-negara anggota PBB.
Idealnya, kelompok penduduk laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama untuk memenuhi peran dalam pembangunan, mengendalikan sumber daya pembangunan yang ada dan mendapatkan manfaat dari pembangunan secara adil dan setara.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Hubies (2010) dalam bukunya yang berjudul “Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa”.
Ketimpangan pembangunan menurut gender menyebabkan pembangunan tidak dapat mencapai potensi optimalnya. Padahal dalam jurnal yang berjudul “Analisis Indikator Ketimpangan Gender dan Relevansinya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Inklusif di Indonesia” disebutkan bahwa kesetaraan dan berkurangnya ketimpangan merupakan salah satu indikator dalam menentukan pertumbuhan ekonomi inklusif di Indonesia (Adika dan Rahmawati, 2021).
Walaupun pada dasarnya sudah ada perlindungan akan gender, tetapi secara praktiknya masih banyak ketimpangan gender yang terjadi, baik dalam lingkup terkecil keluarga, bahkan sampai di tingkat atas.
Potret Ketimpangan Gender di Indonesia
Berdasarkan publikasi yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai kesetaraan gender tahun 2020, kelompok laki-laki cenderung lebih banyak memiliki akses untuk berperan dalam pembangunan. Mulai dari keterwakilan di parlemen (laki-laki 78,9 persen; perempuan 21,1 persen), berpendidikan minimal SMA (laki-laki 42,8 persen; perempuan 36,8 persen) dan berpartisipasi dalam angkatan kerja (laki-laki 82,2 persen; perempuan 53,3 persen).
Selain itu, kelompok laki-laki juga cenderung memiliki hak yang lebih besar dibandingkan perempuan, salah satu contohnya tercermin dari upah buruh laki-laki yang lebih tinggi dibandingkan upah buruh perempuan walaupun pada tingkat pendidikan dan kelompok umur yang sama (BPS, 2021).
Hal ini mengisyaratkan bahwa dominasi atau peran laki-laki dalam pekerjaan dinilai lebih besar dibandingkan perempuan sehingga kelompok laki-laki berhak diberikan upah/balas jasa yang lebih besar pula.
Padahal, menurut Probosiwi (2015) dalam tulisannya yang berjudul “Perempuan dan Perannya dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial”, kelompok perempuan lebih bebas dalam memilih pekerjaan dibandingkan laki-laki.
Di samping itu, berdasarkan data BPS pada tahun 2020, dinyatakan bahwa 1 dari 2 perempuan berusia 20-24 tahun di Indonesia mengalami pernikahan dini di bawah 15 tahun.
Hal ini semakin membatasi gerak perempuan untuk memberikan andil dalam lingkungan sosialnya. Apalagi diperkuat dengan theory of tokenism oleh Rosabeth Kanter (1977) yang menyatakan bahwa kelompok minoritas rentan mengalami diskriminasi dan ini yang kerap dialami oleh kelompok perempuan.
BPS mendefinisikan GII (Gender Inequality Index atau IKG (Indeks Ketimpangan Gender) merupakan indeks yang menjelaskan sejauh mana kehilangan pencapaian keberhasilan pembangunan dalam tiga aspek pembangunan manusia (kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan partisipasi ekonomi) sebagai akibat adanya ketimpangan gender.
Pada skala nasional, ketimpangan gender memberikan pengaruh terhadap pembangunan manusia. Berdasarkan data UNDP (2020), negara-negara yang memiliki indeks ketimpangan gender yang rendah cenderung memiliki indeks pembangunan manusia yang tinggi.
Di Indonesia sendiri, nilai Indeks Ketimpangan Gender (IKG) nasional tahun 2020 yang sebesar 0,4 mengartikan bahwa kerugian/kegagalan pencapaian pembangunan manusia akibat dari adanya ketidaksetaraan gender mencapai 40 persen. Padahal, apabila ketimpangan gender dapat ditekan, peningkatan pembangunan manusia akan lebih maksimal.
Hasil penelitian Sitorus (2016) dalam jurnalnya yang berjudul “Dampak Ketimpangan Gender Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia“ menunjukkan bahwa IKG berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain pertumbuhan ekonomi tidak hanya didorong oleh keberhasilan peningkatan kapabilitas dasar penduduk laki-laki tetapi juga penduduk perempuan.
Ismail, et al. (2020) dalam tulisannya yang berjudul “Kesetaraan Gender Ditinjau dari Sudut Pandang Normatif dan Sosiologis” menjelaskan ada beberapa penyebab terjadinya ketimpangan gender, yaitu perbedaan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan, terjadinya pernikahan dini, maraknya kekerasan terhadap perempuan namun ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan yang cenderung ringan, hingga terjadinya perbedaan akses politik antara laki-laki dan perempuan.
Upaya Mendorong Kesetaraan Gender
Harus dipahami bersama bahwa antara laki-laki dan perempuan memang berbeda secara fisik, tetapi keduanya setara dalam kehidupan sosial, yaitu memiliki hak yang sama dan dapat menjalankan peran sesuai dengan keahliannya masing-masing.
Berikut upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong kesetaraan gender, antara lain:
- Menyetarakan akses pendidikan bagi laki-laki dan perempuan, karena pendidikan yang layak menjadi kebutuhan dasar bagi seorang individu. Melalui pendidikan, baik formal maupun informal, seorang individu menjadi terlatih untuk dapat menyelesaikan masalah, memiliki kemampuan berpikir hingga mengambil keputusan yang tepat.
- Mencegah pernikahan dini yang dapat membatasi gerak dan pilihan seseorang di masa depan, khususnya perempuan. Pemerintah perlu mengetatkan regulasi yang sudah ada terkait pernikahan dini dan mengedukasi orang tua untuk mencegah menikahkan anaknya yang masih di bawah umur.
- Menekan kekerasan rumah tangga dan menghukum pelaku dengan regulasi yang ketat serta mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual agar korban mendapatkan perlindungan payung hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku.
- Meningkatkan akses keikutsertaan dalam berpolitik bagi perempuan dengan tujuan untuk menyetarakan posisi laki-laki dan perempuan. Setiap individu baik laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam segala aspek politik dan juga dalam pemerintahan.
*Penulis adalah ASN BPS Kabupaten Banggai Kepulauan