OLEH: Sofyan Thaha Bachmid*

Dua hari ini saya berjalan ke beberapa tempat di Kota Palu. Fenomena yang terlihat bahwa hampir di setiap sudut jalan banyak orang berjualan.

Lapak dagangan sejak awal Ramadhan tumbuh secara sporadis di mana-mana, sehingga masyarakat kota yang senang ngabuburit di sore hari, mata mereka dimanjakan dengan berbagai jajanan yang ditawarkan oleh pedagang kaki lima.

Jika kita melihat dengan pandangan positif (husnudzan), maka semarak Ramadhan tersebut kita artikan sebagai wujud kegembiraan umat menyambut bulan suci Ramadhan dengan membantu dan atau meringankan masyarakat untuk menyediakan menu berbuka puasa.

Mencermati fenomena di atas menumbuhkan gairah untuk menceritakan bagaimana “Consumer Behavior” selama Ramadhan ini. Sebelum lanjut, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa itu “Consumer Behavior”? (Perilaku konsumen).

Perilaku konsumen adalah kegiatan atau proses yang berhubungan dengan bagaimana dan mengapa pelanggan memilih, membeli dan menggunakan suatu produk atau layanan demi untuk memenuhi kebutuhan atau keinginannya. Perilaku ini dipengaruhi antara lain oleh selera, harga, pelayanan dan lain sebagainya.

Ada faktor lain yang tidak dibahas dalam teori. Dalam bahasa sehari-hari kita biasa menyebutnya dengan istilah “lapar mata”.

Faktor terakhir yang saya sebutkan ini hanya terjadi dibulan Ramadhan. Penyebabnya adalah hawa nafsu. Meski setan dalam bulan ini diikat oleh Allah swt., namun nafsu tidak.

Ini menjadi tantangan bagi umat yang tengah berpuasa. Oleh karena itu peningkatan jumlah permintaan yang terjadi di bulan Ramadhan selain dipicu oleh kebutuhan masyarakat, bisa juga didorong oleh hawa nafsu.

Terlepas faktor mana yang lebih kuat mendorong timbulnya permintaan (kebutuhan atau hawa nafsu) yang jelas hal ini menarik untuk dibicarakan.

Pertanyaan selanjutnya apa kaitan Ramadhan dan hawa nafsu?
Ramadhan yang secara terminologi bahasa diartikan membakar sesungguhnya memiliki makna menghasilkan perubahan perilaku.

Dalam ilmu fisika, panas adalah energi yang berpindah akibat perbedaan suhu, dan secara kimia panas akan membentuk ikatan-ikatan dari atom yang akan menghasilkan energi.

Dalam suatu riwayat dikisahkan bagaimana ketika Allah swt., menciptakan nafsu. Allah bertanya kepada nafsu; “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. Lalu nafsu berkata, “Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau.” Setelah itu Allah memasukkan nafsu ke dalam neraka selama 100 tahun dan kemudian mengeluarkannya.

Kemudian Allah berfirman “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”. Lalu Nafsu berkata, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.” Lalu Allah memasukannya ke dalam neraka Juu (neraka yang penuh dengan rasa lapar) selama 100 tahun. Setelah dikeluarkan maka Allah berfirman: “Siapakah engkau dan siapakah Aku?”.

Akhirnya Nafsu mengakui dengan berkata, “Aku adalah hamba-Mu dan Engkau adalah Tuhanku.”

Hikmah yang kita peroleh dari kisah di atas betapa puasa dapat membentuk perilaku seorang hamba untuk taat kepada Tuhannya (takwa), melalui rasa lapar. Ini antara lain hubungan antara Ramadhan dan hawa nafsu.

Peningkatan permintaan yang dipicu oleh kebutuhan tidak menimbulkan perilaku konsumtif, namun jika itu disebabkan oleh hawa nafsu akan menimbulkan perilaku yang konsumtif, implikasinya dapat membuat penghasilan masyarakat sebagian besar hanya untuk konsumsi semata.

Padahal, dalam pandangan agama tujuan konsumsi untuk memaksimalkan maslahah (mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak).

Pondasi perilaku konsumen dalam Islam ada tiga. Pertama, keyakinan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia.

Kedua, konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki, dan ketiga, harta bukanlah tujuan, namun kedudukannya sebagai alat mencapai tujuan.

Semoga Ramadhan dapat merubah perilaku kita untuk selalu bersandar pada tujuan beribadah kepada Allah swt., dengan memanfaatkan potensi yang kita miliki.

*Penulis adalah Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Tengah/Dosen IAIN Palu