OLEH: Jamrin Abubakar
PEMERINTAH sedang memperjuangkan agar bangsa Indonesia mendapat pengakuan UNESCO sebagai jalur rempah utama dunia, seperti halnya Jalur Sutra bagi bangsa China.
Beberapa upaya yang dilakukan; riset sejarah, ekspedisi Jalur Rempah, festival rempah dan berbagai perayaan momentum terkait. Khusus ekspedisi jalur rempah di Maluku Utara yang sejak lama sebagai pusat rempah dunia berupa cengkeh dan pala yang pernah menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa hingga melahirkan kolonialisme.
Terkait jalur rempah, sejak berabad-abad lalu berbagai pelabuhan di Nusantara sudah dijadikan jalur pelayaran dan perdagangan.
Bagaimana posisi pelabuhan dan Kota Donggala di kawasan Barat Sulawesi Tengah? Dalam agenda nasional terlihat kurang tersentuh dan nyaris tidak mendapat perhatian sebagaimana ramainya pembicaraan tentang Makassar.
Padahal secara historis, Kota Donggala dapat dikategorikan Jalur Rempah dengan alasan, pelayaran perdagangan rempah-rempah dari Maluku melalui Makassar tujuan China menjadikan Donggala sebagai persinggahan.
Bahkan sejak berabad-abad lalu, pelabuhan Donggala tujuan perdagangan benda-benda keramik yang dibuktikan adanya hasil ekspavasi arkeolog di kawasan Labuan Bajo, area pelabuhan Donggala tahun 1970-an. Temuan purbakala di kawasan itu merupakan tinggalan abad ke 13.
Hubungan rempah-rempah di Donggala sangat jelas walau jenisnya tidak seperti yang diperdagangkan dari Ternate, melainkan berupa damar dan cendana akar yang secara umum masuk kategori rempah.
Bahkan hipotesis seorang ahli bahasa Melayu, James T. Collins dalam Sejarah Bahasa Melayu Sulawesi Tengah 1793-1795 sangat menarik dengan informasi tentang Donggala dalam perdagangan cukup tua.
James mengacu pada The Narrative of Captain David Woodard ditulis Vaughan yang mengutip beberapa sumber menyebut perdagangan kayu hitam dan cendana akar (Santalum album) di Sulawesi berdasarkan Ferrand (1914) bahwa kayu mewah makasari (Makassar) dikabarkan oleh Abu’l Fazi’I Allami kepada Maharaja Mugal di Agra (India) adanya kayu cendana. Terutama cendana akar dihasilkan di Donggala.
Bahkan menurut James T. Collins mungkin sekali penemuan arca Budha buatan abad ke- 3 atau ke-4 di Kalumpang (Sulawesi Barat) juga berhubungan dengan jaringan perdagangan ini. Maksudnya perdagangan kayu hitam dan cendana sebagaimana ditulis Antonio de Paiva tentang kayu cendana berasal Donggala sebagaimana ditulis Christian Pelras, Indonesianis asal Prancis dan penulis buku Manusia Bugis.
Antonio de Paiva seororang pedagang dan orang Eropa pertama tinggal di Sulawesi Selatan tahun 1542-1543 ketika itu bermaksud mendapatkan kayu cendana. Rupanya bisa diperoleh di daerah Donggala atau daerah Kaili saat itu banyak ditumbuhi pohon cendana akar dan damar.
Kesaksian terakhir disampaikan seorang peneliti Dr. Boorsman pernah menemukan beberapa batang pohon cendana di pegunungan hampir gundul di kawasan sekitar antara Palu dan Donggala. Sayang, jenis kayu ini sudah punah, kecuali tinggal beberapa pohon masih dapat ditemui di Suaka Alam Poboya, arah timur Kota Palu.
Naskah China paling tua diterbitkan dalam bentuk terjemahan tentang Nusantara disampaikan oleh J.V.Mills dari Chinese Navigators in Insulinde, menulis di Sulawesi hanya disebut Donggala (Tung-Chia-la) tujuan pelayaran.
Pelayaran antara Tiongkok (China) dengan Nusantara melalui dua rute yaitu Timur dan Barat. Menuju Donggala dikategorikan rute Timur yaitu pelayaran dari Ch’uan-chou dan Amoy nama kota di Tiongkok menuju kepulauan Pescadores (P’eng-hu) hingga mencapai Tanjung Mangkaliat (Ma-li-pen) di Kalimantan Timur dekat Sangkulirang. Dari Mangkaliat itulah pelaut Cina menyeberang ke Donggala menjadi batas akhir pelayaran di Sulawesi.
Begitu pula sebaliknya saat kembali ke Cina akan mengikuti rute pelayaran semula. Bisa jadi jauh sebelum 1430 sudah ada kapal Cina pernah berlayar ke Donggala bila merujuk bukti arkeologis temuan arca Budha buatan abad ke- 3 atau abad ke- 4 di Kalumpang sesuai tulisan Bosch (1933) dan van Heekeren (1958).
Hipotesis itu memungkinkan hubungan pelayaran tua di Sulawesi secara geografis akan melewati Donggala berdasarkan jalur pelayaran Cina.
Bukti-bukti arkeologis lain berupa hasil ekskavasi di sekitar Labuan Bajo Donggala ditemukan pecahan mangkok dan piring berbahan keramik buatan Cina peninggalan abad ke- 12. Diperkirakan masa kekuasaan Dinasti Yuan (1271-1368) dan Dinasti Ming (1368-1644) menunjukkan kalau pelaut Cina sudah sering datang ke perairan Donggala.
Belakangan pada abad ke 17 hingga awal abad ke- 20 perdagangan hasil hutan bukan hanya kayu hitam dan cendana serta damar, melainkan juga kemiri dan ternak sapi.
Kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru Nusantara dan belahan dunia lainnya, melabuhkan sauh dan membongkar muatannya di pelabuhan ini. Aktifitas kemaritiman, perdagangan dan interaksi sosial budaya yang menyertainya lalu membentuk kultur urban kota Donggala, kota dimana pelabuhan itu berada.
Berdasarkan latar belakang sejarah tersebut, dapat dikategorikan kalau Donggala merupakan salah satu Jalur Rempah Nusantara dan Dunia.
Selain itu disusul perdagangan hasil pumi paling besar seperti rotan, kayu hitam (eboni) dan kopra yang cukup lama terjadi transaksi. Hingga kini gudang kopra peninggalan Belanda masih tersisa sebagai bukti sejarah masa lampau yang cukup terkenal dikenal gudang Coprafonds. Perdagangan kopra menjadi rangkaian perdagangan rempah Nusantara yang tak terlepas dari keberadaan pelabuhan Donggala.
Landasan sejarah itu, di saat perlu dilakukan penguatan kembali terhadap kejayaan masa lampau di kota Donggala berhubungan Jalur Rempah salah satu perayaan bias dilakukan berupa festival rempah.
Bagian dari konservasi dan preservasi terhadap warisan sejarah kota dan budaya urban dengan menjadikan rempah sebagai tema utama yang di dalamnya dapat berupa pelestarian Heritage Donggala.
Harapannya adalah untuk menyelamatkan dan melestarikan situs sejarah, bangunan, gedung, dan kawasan bersejarah di Kota Donggala serta lingkungan dan budayanya. *
*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya