OLEH: Moh. Ahlis Djirimu*

Awal pekan ini, media masa nasional menyuguhkan data terbaru 10 provinsi termiskin di Indonesia.

Ranking provinsi termiskin secara relatif belum banyak berubah. Papua tetap di peringkat teratas dengan capaian 26,8 persen, diikuti oleh Papua Barat 21,7 persen.

Selanjutnya Nusa Tenggara Timur (NTT) 21,21 persen, Maluku 17,99 persen, Gorontalo 15,59 persen, Aceh 15,43 persen, Bengkulu 15,30 persen, Nusa Tenggara Barat (NTB) 14,23 persen, Sulawesi Tengah 13,06 persen, serta Sumatra Selatan 12,56 persen.

Lima provinsi tertinggi angka kemiskinannya berada di Kawasan Timur Indonesia. Tiga provinsi di urutan 6, 7 dan 10 berada di Pulau Sumatra. Secara keseluruhan, Maluku, NTT, NTB, Sulteng merupakan wilayah kepulauan yang didominasi oleh perairan. Sedangkan Papua, Papua Barat, Aceh, Bengkulu dan Sumatra Selatan lebih dominan daratan.

Secara historis, selama periode 2013-2020, Sulteng telah mengalami tiga kali kenaikan kemiskinan, yakni pada periode September 2014-Maret 2015 dari 13,61 persen menjadi 14,66 persen, September 2015-Maret 2016 dari 14,07 persen menjadi 14,45 persen, September 2016-Maret 2017 dari sebesar 14,09 persen menjadi 14,14 persen.

Sebaliknya, pada periode 2013-2020, terjadi kenaikan historis periode Maret 2014-September 2014 dari 14,14 persen menjadi 14,22 persen.

Hal ini bermakna bahwa pertama, adanya program peningkatan kesejahteraan masyarakat baik Program Rastra, PKH, KIP, KIS, padat karya desa non tunai, asuransi pertanian, asuransi nelayan belum menimbulkan dampak konkrit bagi perbaikan taraf hidup masyarakat.

Kedua, Basis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) wajib dimuktahirkan setiap triwulan oleh kabupaten/kota agar rumah tangga miskin (RTM) sasaran tepat mutu, tepat waktu, tepat administrasi dan tepat dana.

Untuk memahaminya, perlu ada perubahan paradigma dari yang berorientasi pertumbuhan (growth oriented) yang selama sepuluh tahun terakhir diajarkan oleh think tank penyelenggara pembangunan di Sulteng menuju pertumbuhan yang berkeadilan (equity for growth).

Paradigma pembangunan yang lebih menekankan pada pertumbuhan sudah lama ditinggalkan oleh para perencana pembangunan di Pusat karena cenderung menimbulkan degradasi lingkungan dan runtuhnya pranata sosial.

Saat ini, ada baiknya kita memaknai makna pertumbuhan berkeadilan atau pertumbuhan inklusif dalam konteks Pembangunan Sulawesi Tengah melalui “segitiga pertumbuhan-kemiskinan-ketimpangan” yang diajarkan oleh Francois Bourgignon, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia.

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang melambat mencapai 4,86 persen pada 2020 seharusnya diikuti dengan pengurangan kemiskinan jika minimal kelompok yang termiskin juga meningkat pendapatannya.

Perubahan pendapatan kelompok miskin berkontribusi terhadap kenaikan pendapatan rata-rata.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi belum tentu mengurangi kemiskinan jika yang meningkat pendapatannya hanya kelompok kaya dan atau 20 persen kelompok penduduk terkaya versi Bank Dunia.

Pertumbuhan ekonomi dapat menambah kemiskinan, kalau kenaikan pendapatan dibarengi dengan penurunan pendapatan kelompok miskin.

Dalam konteks ini, laju pertumbuhan ekonomi Sulteng turun dari 7,15 persen pada 2019 menjadi 4,86 persen di Tahun 2020 masih lebih baik karena tidak mengalami kontraksi walaupun didorong oleh peningkatan harga nickel di pasaran internasional yang tentunya dinikmati oleh korporasi di Kabupaten Morowali dan tanpa berdampak apa-apa bagi perekonomian Sulteng karena minim penciptaan lapangan kerja karena industri padat modal.

Berbeda bila laju pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh sektor pertanian dalam arti luas karena pasti menciptakan lapangan kerja bagi petani baru di perdesaan.

Kedua, pertumbuhan ekonomi justru akan meningkatkan ketimpangan kalau pertumbuhan ekonomi tersebut lebih banyak disebabkan oleh kenaikan pendapatan kelompok kaya dan/atau 20 persen kelompok terkaya dibandingkan kelompok penduduk miskin dan/atau 40 persen kelompok penduduk ekonomi terbawah.

Ini akan terjadi walaupun kelompok miskin dan/atau 40 persen kelompok penduduk termiskin mengalami peningkatan pendapatan. Tetapi karena kenaikan pendapatan kelompok kaya lebih tinggi ketimbang kenaikan pendapatan kelompok miskin, maka ketimpangan akan meningkat, walaupun kemiskinan menurun.

Dalam konteks Sulteng pada umumnya dan Kabupaten Banggai dan Morowali pada khususnya, pertumbuhan ekonomi cenderung meningkatkan ketimpangan kalau misalnya pertumbuhan yang terjadi lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang pekerja.

Pertumbuhan ekonomi yang berpusat pada sektor padat modal, umumnya akan meningkatkan ketimpangan. Hal ini karena pada kedua kabupaten tersebut, harga kebutuhan pokok cenderung mahal sebagai kawasan industri menggerus daya beli masyarakat.

Dalam konteks data pertumbuhan dan Gini Ratio Tahun 2020, pertumbuhan ekonomi yang mengalami penurunan dari 7,15 persen pada 2019 menjadi 4,86 persen pada 2020, justru diikuti oleh penurunan Gini Ratio dari 0,330 poin pada 2019 menjadi 0,321 poin pada 2020.

Penyebab berbarengan antara laju penurunan pertumbuhan ekonomi dan koefisien Gini ini adalah adanya penurunan belanja lebih besar pada kelompok 20 persen terkaya mencapai 2 kali lipat lebih cepat dari 40 persen kelompok penduduk terbawah.

Dengan kata lain, kelompok penduduk 20 persen terkaya mengalami penurunan belanja 3,24 persen lebih cepat ketimbang 40 persen penduduk terbawah yang belanja hanya menurun sebesar 1,16 persen.

Hal ini mengindikasikan bahwa lebih besar penurunan belanja penduduk di perkotaan ketimbang di perdesaan yang diperberat oleh Covid19 menggerus tabungan dan belanja less contact non tunai menjadi lebih atraktif di masa pandemi menggunakan jasa online.

Ketiga, Pertumbuhan ekonomi dapat juga diikuti dengan pengurangan ketimpangan. Ini terjadi jika aktivitas ekonomi yang menopang pertumbuhan ekonomi adalah sektor pertanian dan industri manufaktur padat karya.

Peluang ini akan dimanfaatkan oleh Pemerintah Provinsi Sulteng melalui keselarasan perencanaan pembangunan kolaboratif antara provinsi dan 13 kabupaten/kota. Hanya ketidakmampuan aparat  dalam menerjemahkan makna pertumbuhan inklusif pada 1 kota dan dua belas kabupaten dapat menghambat pembangunan kolaboratif.

Adanya perubahan paradigma pembangunan dari growth oriented menjadi equity for growth dan paradigma money follow function menjadi money follow program, program follow result menjadi tonggak pembangunan berbasis kewenangan layanan spasial.

Kewenangan layanan spasial ini mendorong solusi pembangunan lebih berorientasi bekerja bersama-sama mencapai target-target pembangunan.

Keempat, ketimpangan dapat saja meningkatkan pertumbuhan ekonomi jika ketimpangan yang terjadi adalah hasil dari sistem insentif untuk peningkatan produktivitas, reward dari entrepreneurship atau akumulasi modal.

Penguatan kelembagaan ekonomi di desa melalui penguatan Bumdesa Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa.

Bila produktivitas lahan pertanian meningkat yang diikuti oleh hilirisasi hasil-hasil pertanian, maka nilai tambah akan berantai diperoleh pelaku ekonomi dalam kerangka rantai pasok hulu hingga hilir sehingga adanya peningkatan produktivitas yang muncul dari semangat kewirausahaan ini mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kelima, bertolak belakang poin keempat, ketimpangan dapat sangat mungkin menurunkan pertumbuhan ekonomi melalui banyak faktor, misalnya ketimpangan menimbulkan rendahnya kohesi sosial, konflik komunal sehingga ekonomi rentan terhadap konflik.

Pemerataan kualitas SDM juga cenderung lebih kondusif untuk peningkatan inovasi yang merupakan pendorong dari pertumbuhan ekonomi tinggi.

Selama periode 2016-2018, Gini Ratio meningkat pada Kabupaten Bangkep dari 0,30 poin menjadi 0,34 poin, Donggala dari 0,32 poin meningkat menjadi 0,33, serta Buol dari 0,31 ke 0,35 poin. Sebaliknya Gini Ratio menurun pada Kabupaten Banggai dari 0,32 poin menjadi 0,31 poin, Morowali dari 0,33 poin menjadi 0,30 poin, Poso dari 0,36 poin menjadi 0,30 poin, Tolitoli dari 0,38 poin menjadi 0,37 poin, Parigi Moutong dari 0,31 menjadi 0,30 poin, Touna dari 0,34 menjadi 0,31 poin, Sigi dari 0,32 menurun 0,31, serta Kabupaten Morut dari 0,34 menurun menjadi 0,31 poin.

Sedangkan GR di Kabupaten Banggai Laut dan Kota Palu mengalami stagnasi. Bila Gini Ratio ini meningkat, hal ini berarti kesenjangan semakin timpang, dan sebaliknya.

Keenam, ketimpangan tinggi dapat meningkatkan kemiskinan jika ketimpangan tersebut cenderung disebabkan lebih banyak populasi orang miskin dan bukan lebih banyak populasi orang kaya, walaupun kita perlu pahami bahwa kemiskinan dapat saja rendah karena sebagian besar orang masih miskin.

Hal ini tercermin pada Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang meningkat pada Sulteng dari 2,33 poin pada 2019 menjadi 2,99 poin pada 2020 dan meningkat pula pada Kabupaten Banggai, Morowali, Donggala, Tolitoli, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi dan Morowali Utara.

Semakin tinggi angka ini, hal ini berarti semakin timpang antar sesama RT miskin. Ketimpangan ini menjadi satu dari beberapa penyebab berfluktuasinya angka kemiskinan selama ini yang bersumber dari kemiskinan makanan mencapai 76,56 persen terutama didorong kenaikan beras, rokok kretek filter dan ikan laut bukan karena langka.

Sesuatu yang langka tentu mahal, tetapi tanpa kebijakan penyanggah harga baik dari provinsi maupun kabupaten/kota, maka sulit mengatasi masalah ini.

Ketujuh, ketimpangan tinggi membuat kekuatan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan melemah. Pertumbuhan ekonomi pada negara/daerah dengan ketimpangan rendah akan lebih berpotensi mengurangi kemiskinan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di Sulteng yang ketimpangannya moderat.

Solusi berbagai akar masalah kemiskinan ini terletak pada strategi memastikan DTKS benar-benar muktahir. Lalu peningkatan kualitas jalan provinsi dari kemantapan sebesar 60,57 persen pada 2019 menjadi 61,58 persen, jauh di bawah kemantapan jalan nasional yang meningkat dari 97,53 persen pada 2019 menjadi 97,54 persen pada 2020 yang diikuti oleh peningkatan kemantapan jalan kabupaten/kota.

Pada wilayah infrastruktur kewenangan layanan provinsi tersebut, Pemerintah Sulteng dan kabupaten/kota bekerja Bersama-sama meluncurkan maupun mereaktivasi Program Anti Kemiskinan Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, Keternagakerjaan, Infrastruktur yang memunculkan kewirausahaan dan penguatan Kelembagaan Ekonomi di kabupaten, termasuk melalui penguatan Bumdes, Baitul Mal Wattamwil (BMT), Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Program retrieval yang melakukan 3M (menelusuri, menemukan dan menyekolahkan kembali) anak putus sekolah tingkatan SD/MI dan SMP/MTs oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi oleh Pemerintah Provinsi pada wilayah kewenangan layanan menjadi provinsi dapat menjadi program bersama.

Demikian pula beasiswa penduduk usia sekolah dan tenaga kependidikan, program guru kontrak/guru ganti pengganti sementara guru mata pelajara yang melanjutkan studi dapat dilakukan bersama.

Best practice pemuktahiran data stunting oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota dapat menjadi solusi menurunkan kasus 25.500 balita stunting atau 16 persen dari total balita di Tahun 2020.

Strategi pembangunan wilayah kepulauan, wilayah perbatasan provinsi dan provinsi lain, wilayah batas antar kabupaten/kota, pembangunan berbasis danau seperti Danau Poso, Lindu, Rano, Bangkep dan Pembangunan Berbasis Sungai Besar nan Panjang seperti Ulubongka di mana penduduk sasaran pembangunan berdomisili di sepanjang pesisirnya yang mengikuti sertakan korporasi berbasis pendidikan berkesinambungan meninggalkan charity dapat menjadi ajang pentahelix di daerah ini.

*Penulis adalah Staf Pengajar Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB-Untad