PALU- Harapan semua orang, pasca ditandatanganinya Deklarasi Perjanjian Damai Malino 2001, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, akan kembali aman dan tentram seperti sedia kala. Tapi kenyataanya, hingga saat ini masih ada saja riak-riak mengganggu kenyamanan dan keamanan, di bumi Sintuwu Maroso tersebut.

Meski Santoso yang dituduh dalang kelompok ekstrim, telah meninggal saat baku tembak dengan aparat satgas Operasi Tinombala pertengahan Juli 2016 silam, tapi hingga kini simpul mereka masih kuat.

Berbagai langkah dan upaya pemerintah, agar Poso kembali aman dilakukan. Diantaranya, program deradikalisasi serta penegakan hukum dimulai dengan sandi Operasi Camar Maleo 2015, sampai kini 2020 berganti sandi, Operasi Tinombala yang berjilid-jilid. Tapi, nisbih, masih ada tokoh baru kelompok tersebut yang kini dipimpin Ali Kalora.

Kinerja pihak keamanan tentu dipertanyakan. Sejauh apa sebenarnya langkah yang dilakukan untuk menciptakan rasa aman itu.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM), Nurlaela Lamasitudju, menilai, justru negara belum menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas.

“Sesuatu berbau mental dianggap nanti sudah gila,” kritik Nurlaela saat ditemui di Sekret SKP- HAM Palu, Jumat (30/10).

Dia mengkritik, negara cenderung pada tindakan represif. Lalu tindakan itu menghilangkan rasa percaya warga kepada negaranya, dan akhirnya aparat menjadi sasaran.

Sedendam apapun warga Poso antara Muslim dan Nasrani, tidak akan berkonflik lagi sesamanya. Mereka semakin sadar hanya dijadikan korban.

“Saat ini perlawanannya bukan lagi antar warga, tapi warga terhadap negara. Yang disasar adalah aparat,” ujarnya.

Nurlaela berkaca pada kasus pamannya yang hilang diambil aparat. Sampai kini pamannya belum ditemukan.

Nurlaela Lamasitudju

Memang ada  pengadilan militer bagi 14 orang pelaku terlibat langsung saat itu.  Namun, kala itu putusan pengadilan militer diterima pihak keluarga hanya lewat short messenger service (SMS). Bahkan, anggota keluarga dipaksa untuk mengakui, bahwa mereka yang hilang sudah meninggal, lalu diberi santunan Rp500 ribu per keluarga.

“Itu cara Negara perlakukan warganya, bagaimana keluarga puas. Inilah menjadi luka, tidak pernah diselesaikan,” ujar perempuan kelahiran Poso ini.

Soal perjanjian damai, baginya itu upaya buru-buru. Sebab tokoh pada perjanjian tersebut hasil comotan hanya karena dianggap mewakili dua belah pihak.

“Orang-orang ini clearkah, ketika pulang ke komunitas? Ini orang-orang tidak clear pulang, ke komunitas, sebab prosesnya cepat,” tuturnya.

Setelah perjanjian damai, pembangunan harus disegerakan. Ini jadi problem, sebab atas nama pembangunan tidak boleh ada konflik, dan semua diredam. Negara menurunkan semakin banyak aparat keamanan, dengan sandi operasi berjilid-jilid.

Sementara sampai kini orang-orang yang merasa kasus menimpa dirinya tidak selesai, dan tidak punya ruang mengungkapkan kebenaran. Sebab tidak ada proses dialog. Proses itu dicabut oleh Negara, dilakukan top down.

“ Itu yang gagal dilakukan, menciptakan rasa keadilan dan puas bagi korban,” sebutnya.

Dia menilai, cara pemerintah menekankan keamanan atas nama pembangunan. Sedangkan mereka yang protes dengan ketidakpuasan itu harus diredam dengan senjata, dan diburu atas nama terorisme.

Perburuan itu jelasnya bukannya menciptakan rasa aman. Justru warga yang  merasa terkekang, sebab ada pembatasan waktu dan razia.

Situasi inilah membuat mental masyarakat kebal terhadap aparat. Bagaimana mungkin ini terselesaikan, bila aparat negara menjadi bagian dari problem.

Namun demikian negara diakuinya, saat ini mungkin telah merefleksi akan kondisi itu, dengan merevisi Undang-undang Terorisme. Dalam salah satu pasal, akan memberikan pemenuhan hak kompensasi dan rehabilitasi korban  tindak pidana terorisme.

Sejauh ini kompensasi yang diajukan pada Agustus 2021 sudah keluar.

“Ini tanda baik. Korban tidak melihat berapa uang yang akan digantikan, tapi melihat negara hadir untuk memulihkan dan mengakui pelanggaran, dan itu menjadi obat paling mujarab,” imbuhnya.

Meskipun dalam tahap ini, masih diberikan kepada keluarga korban yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme, belum pada korban konflik.

Sementara itu, Evi Tampakatu seorang aktivis perempuan yang pernah mendampingi kelompok yang dianggap ekstrimis oleh pemerintah, menilai pada dasarnya, warga-warga itu tidak seperti yang dibayangkan.

Evi Tampakatu

Evi Tampakatu, saat bekerja di Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Desember 2018, turut mendampingi mantan kelompok ekstrim di Dusun Tamanjeka, Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso.

“Awal-awalnya ada kengerian dan rasa takut, saat pertama kali diajak Asmiati Hamidi dalam program Kementerian Sosial untuk mendampingi mantan kelompok ekstrim di dusun tersebut,” aku Evi Tampakatu ditemui di kediamannya, di Kelurahan Tegal Rejo, Kecamatan Poso Kota Utara, Rabu (28/10) malam.

Evi yang juga warga asli Poso itu mengatakan, kengerian dan rasa takut itu bukan tanpa alasan. Sebab dari cerita beredar dan didengarkannya, Dusun Tamanjeka pernah menjadi pusat pergerakan radikal dan latihan militer kelompok pimpinan Santoso.

Tapi ketika dia bersama rekan kerjanya, masuk dan berinteraksi dengan warga Tamanjeka, keadaannya sangat berbanding terbalik dengan cerita-cerita orang di luar.

“Ketika kami masuk menemui umi, sebutan bagi kaum ibu-ibu dusun tersebut, mereka menyambut dengan baik,” kata Evi, yang kini Koordinator Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat ( PATBM) Poso ini.

Bahkan, cerita orang yang mengatakan, umi-umi di sana tidak menerima orang dari luar kelompoknya, tidak pernah ditemui dan didapatkannya.

Bahkan lagi setelah beberapa kali berinteraksi, para umi yang bercadar itu semakin terbuka dengan mereka. Evi dan kawannya bisa berkomunikasi lepas, sampai-sampai keakraban itu membuat para wanita itu berani melepas cadarnya di hadapan Evi.

Namun demikian, menurutnya, ada sebagian kecil pandangan “berbeda” pada warga dusun tersebut.  Akan tetapi tidak dapat digeneralisir sebagai pandangan kebanyakan warga setempat.

Evi lalu berpikir apa yang harus dilakukan untuk mengubah pandangan orang pada dusun tersebut, dan bagi 77 kepala keluarga (KK) yang mendiaminya. Sekaligus juga berpikir bagaimana mengubah pola pikir sebagian warga yang berbeda tadi, terutama bagi anak-anak.

Tercetuslah ide untuk membuat literasi taman bacaan anak.  Februari 2019 taman baca dibuka, dan disambut antusias oleh warga. 50 anak menjadi anggota taman baca kala itu, dengan buku bacaan beragam dan seadanya.

“Literasi taman baca buku ini bertujuan untuk deradikalisasi,” kata Evi.

Kini taman bacaan tersebut, telah diolah oleh umi-umi  setempat, setelah kontrak kerjanya berakhir sebagai pendamping mantan kelompok ekstrim tersebut.

Saat berpisah dengan warga, umi- umi setempat menitipkan amanah kepadanya, agar menyampaikan kepada orang-orang luar, bahwa Dusun Tamanjeka tidak seperti yang mereka pikirkan, dan meminta pemerintah untuk memperbaiki akses jalan.

“Mari datang bersilaturahmi ke Dusun Tamanjeka, begitu pesan umi- umi tersebut,”  aku Evi yang juga Satuan tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak Poso kala itu.

Penanganan Mental

Psikolog Klinis dan Founder Sejenak Hening.Com, I Putu Ardika Yana, mengatakan, untuk penanganannya, diperlukan assessment (penilaian) kondisi psikologis dan luka batinnya. Dengan assessment, pasti akan menemukan kelompok-kelompok yang rawan, seperti tingkat kesehatan gangguan mental dan traumanya.

“Yang harus dilakukan deteksi secara dini,” kata Putu, saat ditemui di Sekret SKP- HAM Palu, Jumat, (30/10).

Secara psychologis penting untuk mengetahui mana kelompok-kelompok trauma yang berat, kelompok yang tidak trauma, dan  kelompok psikologis dengan dendam sudah besar.

I Putu Ardika Yana

Ia menyebutkan, radikalisasi saat ini bukan lagi pada tingkat kognitif, tapi sudah pada level mental atau di level perasaan. Durasi pemulihan juga berbeda-beda, bagi setiap orang, bisa cepat, lama atau stagnan.

Untuk itu, penanganan dengan kekerasan, tidak akan menimbulkan perubahan perilaku yang diinginkan. Penanganan dengan cara represif bisa dikatakan sudah lambat, tapi bukan berarti tak bisa dilakukan. Tipikal represif seharusnya diberikan hanya pada situasi mendesak dan mengancam.

Terkait deradikalisasi Poso, kritik Putu, program atau rehabilitasi sosial itu akan membuat gesekan yang baru, sebab ada kecemburuan.

Harusnya, arahnya bukan lagi rehabilitasi sosial, kelompok radikal dan non radikal, tapi lingkup rehabilitas komunitas di dalamnya yang menggambungkan yang radikal dan non radikal. Dengan begitu, tidak ada sekat pemahaman dan pemikiran di antara mereka.

Dia mengatakan, sebenarnya hanya 4 persen warga yang memiliki pengalaman konflik itu terganggu mentalnya. Akan tetapi sisa dari 4 persen ini, bisa mengalami stressor harian. Kalau stressor hariannya tidak diatasi maka bisa menjadi agresif, dan akan menjadi bom waktu .

“Luka dan trauma kolektif, ada di alam bawah sadar diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya akan terbawa terus. Bagaimana hidup di alam kebencian terus, tapi tanpa disadari,” katanya.

Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakat (Humas), Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Komisaris Besar (Kombes) Polisi (Pol) Didik Supranoto, pasca konflik Poso ada beberapa hal dilakukan oleh pihak kepolisian. Tidak melulu operasi keamanan.

Penanganan teroris dilakukan dengan operasi Tinombala, sedangkan bentuk softnya dengan program deradikalisasi. Jadi bukan hanya pendekatan keamanan, tapi juga pendekatan di bidang-bidang lain, pendidikan, ekonomi dan sebagainya

“Penyelenggaranya kepolisian, Pemda, BNPT dan stakeholder lainnya, termasuk tokoh masyarakat Poso maupun dari luar Poso,” kata Didik saat ditemui di ruangannya di Mapolda Sulteng, Jalan Sokarno-Hatta Kota Palu, Kamis (5/11).

Dia menggaransi, Kepolisian setiap saat selalu mengevaluasi kegiatan yang dilakukan dalam pemulihan keamanan di Poso. Bahkan Satgas melakukan evaluasi seminggu sekali  terhadap kinerja anggota, termasuk pelaksanaan operasi dan cara bertindaknya.

“Setiap selesai tahapan operasi dilakukan evaluasi,” sebutnya.

Meskipun program deradikalisasi dilakukan, akan tetapi apa yang disampaikan oleh Didik tidak sebagaimana kesan yang terjadi di masyarakat. Apalagi di kalangan aktivis Hak Asasi Manusia. (IKRAM)