“Rumah itu sangat bersejarah. Dulu banyak anak dari luar kota tinggal di rumah sini untuk melanjutkan pendidikan di Donggala. Bahkan saat Presiden Soekarno melakukan kunjungan ke Donggala, di rumah itulah ia singgah karena diundang Raja Banawa.”

Sepenggal kalimat itu diutarakan Arty Kailiwati Nurdin (58), salah satu putri tokoh politik asal Donggala, Andi Cella Nurdin tentang sebuah rumah tua yang ada di Donggala.

Kala itu, Presiden Soekarno datang ke Donggala dalam satu rangkaian kunjungan di Palu tahun 1957. Donggala masih dipimpin Bupati R. M. Pusadan, sementara Ketua DPRDS adalah Andi Aksa Tombolotutu.

Sebagai apresiasi masyarakat setelah kunjungan Soekarno di Donggala maka jembatan di depan rumah tua itu diberi nama Jembatan Megawati. Sedangkan satunya dinamai Jembatan Guntur, pengubung antara Kelurahan Boya-Tanjung Batu.

Setahun setelah kunjungan Presiden, giliran Jenderal Gatot Subroto datang ke rumah itu, didampingi Kepala KPN Donggala ketika itu, Razak.

Kesaksian ini diungkapkan Veronika yang akrab disapa Ci Ona (78) salah satu anak dari Tuan Tjoa, tokoh Tioghoa di Donggala pada masa itu.

Menurut Ci Ona, kedatangan Gatot Subroto juga mengunjungi kediaman orang tuanya dan sempat dilakukan perjamuan sebelum ke rumah Raja Banawa, Laparenengi.

Rumah tua yang dimaksud adalah bangunan yang bersebelahan dengan bekas Kantor KPN Donggala, Jalan Pelabuhan Donggala, Kelurahan Boya.

Bangunan berarsitektur unik beratap sirap itu merupakan bekas rumah Raja Banawa, Laparenrengi Lamarauna.

Seyogyanya rumah itu ditetapkan menjadi cagar budaya, sebab merupakan satu-satunya rumah tua yang masih berpenghuni sejak puluhan tahun silam saat pemerintah Hindia Belanda berkuasa.

Sejak puluhan tahun lalu, pemilik rumah pertama telah menjualnya kepada keluarga Raden Widya S. Indra Mangoenkinto (almarhum), salah satu pegawai Gaya Cenderawasih, perusahaan milik Umar Alaydrus, saudagar Arab yang sangat terkenal pada era 1960-an di Donggala hingga Palu.

Gertje Djini Kodu (75), istri Raden Widya, mengungkapkan, suaminya membeli rumah itu tahun 1975.

Ketika itu mendapat kepercayaan dan persetujuan pemilik Gaya Cenderawasih untuk memimpin perusahaan saat ada aturan warga negara asing tidak boleh mencantumkan nama sebagai pimpinan.

Pada masa itu, Umar Alaydrus belum tercatat sebagai warga Negara Indonesia.

Menurut Gertje yang akrab disapa Suster Djiny ini, dokumen-dokumen pembelian rumah tetap ia simpan.

Beberapa tahun lalu, pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Donggala pernah mengunjungi dan melakukan inventarisasi. Bahkan di tahun 2013, Balai Pelestarian Cagar Budaya Gorontalo yang membawahi Sulawesi Tengah melakukan pengukuran dan inventarisasi sebagai situs cagar budaya.

Sayang, hingga kini belum pernah dilakukan pengusulan oleh pihak berwenang dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Donggala untuk direvitalisasi.

Akibatnya, saat gempa bumi tahun 2018, beberapa bagian atap tengah dan belakang roboh dan kini sedang dalam tahap perbaikan.

“Kami memperbaiki bagian atas rumah ini tidak lagi mengikuti bentuk aslinya. Menurut tukang yang mengerjakan cukup besar biaya yang dipakai banyak memberlukan kayu balok dan cukup rumit. Jadi kami perbaiki dengan menyesuaikan dana bantuan rusak sedang,” kata Soeharto, anak bungsu R. Widya-Djiny.

Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay