KABUPATEN Donggala sangat kaya dengan cerita rakyat atau legenda yang merupakan warisan leluhur.
Pusentasi adalah salah satunya. Objek wisata yang terletak di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah ini ternyata memiliki kisah tersendiri yang layak dikupas.
Mengulik sejarah Pusentasi tentu tak lengkap jika tak terlebih dahulu mengenal Towale sebagai kampung tua yang pada zaman dahulu dikenal sebagai salah satu Kota Pitunggota Kerajaan Banawa yang sampai sekarang banyak memiliki potensi wisata pantai.
Menjangkau kampung tersebut sangatlah mudah, karena tempatnya berada hanya sekitar 13 kilometer dari pusat Kota Donggala. Rutenya dapat dijajal dengan kendaraan sepeda motor atau mobil karena tepat berada di lintasan jalan trans menuju Sulawesi Barat, provinsi tetangga.
Bagi orang yang berkunjung ke Towale, pasti merasakan suasana pedesaan dengan keramahan penduduknya.
Di kampung ini akan ditemui banyak cerita yang yang berkaitan dengan asal-usul dan kekerabatan suku Kaili di Sulawesi Tengah. Sayangnya, semua itu belum terdokumentasi dalam bentuk buku, manuskrif ataupun publikasi media massa, sehingga dikhawatirkan suatu saat terancam punah dan tidak lagi diketahui generasi mendatang.
Penyebabnya, selain penuturnya yang berangsur-angsur berkurang, juga generasi mudanya tidak lagi menggandrungi tradisi tutura (bertutur).
Bagi masyarakat Kota Donggala, nama Towale tidaklah asing. Sebab kampung tersebut dikenal sebagai salah satu penghasil ikan dan tempatnya para pengrajin kain sarung Donggala.
Di desa inilah terdapat Pusentasi atau pusat laut. Panorama laut yang indah nan eksotis tersaji di sini.
Pusentasi memiliki cerita legenda yang menarik sebagai daya tarik untuk pengembangan wisata. Walaupun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) setempat belum terlalu jauh mengekploitasinya
Selama ini masih mengandalkan pada wisata alam pantai semata, sehingga lebih memprioritaskan pembangunan tembok sekeliling sumur purba Pusentasi yang lambat laun justru menuai sorotan karena merusak keasliannya.
CERITA YANG TERSEMBUNYI
Cerita legenda Desa Towale bisa diawali dengan kehadiran Yamamore, seorang gadis cantik yang melarikan diri atau kisah tentang Karampuana, Bulava Mpongeo atau kucing emas.
Seorang seniman yang juga mantan guru di Towale, M Azwar M. Diah pernah menyampaikan sejumlah cerita legenda desa tersebut dalam bentuk seni pertunjukan monolog maupun dramaturgi.
Hal ini pernah dilakukan Azwar pada event pertunjukan mendongeng di acara Pekan Budaya se-Sulawesi Tengah di Donggala, Parigi Moutong dan Tolitoli, beberapa tahun lalu.
“Semua cerita legenda yang saya angkat dalam pertunjukan drama merupakan hasil penelusuran saya berdasarkan sumber lontara berbahasa Bugis yang menceritakan tentang raja-raja Tanah Kaili,” kata Azwar, baru-baru ini.
Pria asal Pare-Pare yang telah lama bermukim di Towale ini memang memiliki kemahiran membaca lontara berbahasa Bugis. Lontara itu sendiri diperoleh dari mertuanya yang merupakan warisan turun-temurun.
“Cuma sayangnya dari berbagai cerita yang ada, ada kecenderungan orang menyembunyikan dan tak mau menyiarkan. Sebab masih ada anggapan kalau diungkap nanti diambil orang lain dan membuat mereka menjadi kaya, sementara pemiliknya tidak dapat apa-apa,” ungkapnya.
Hal lain, kata dia, adanya anggapan dari masyarakat bahwa jika disebar juga tak memiliki manfaat.
“Ini jadi persoalan tersendiri. Padahal soal cerita itu walau tersebar kan tidak lantas membuat orang yang menulis itu jadi kaya raya atau bagaimana. Itu hanya kecurigaan. Ya, apa boleh buat, begitulah kenyataannya,” kata Azwar.
Meskipun demikian, Azwar tetap berupaya mengumpulkan dan menulis sejumlah cerita rakyat walau sebatas disimpan dalam rumah dengan harapan bila mendapat undangan pementasan, dengan mudah akan dibawakan.
Karya-karya hasil eksploitasinya itu tak ada yang ditulis secara utuh, karena pihak keluarga tidak mendukung dan adanya kekhawatiran akan diambil orang lain.
Makanya sejak beberapa tahun belakangan, Azwar tidak lagi aktif karena usia tua. Kecuali beberapa anak remaja binaannya, kadang masih melakukan pertunjukan tarian bila ada momen.
Hapri Ika Poigi, Dosen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako (Untad) yang dimintai tanggapannya, mengatakan, cerita rakyat adalah karya yang dapat dinikmati secara luas, bukan milik seseorang atau kelompok.
Menurutnya, siapa saja berhak mengetahui dan siapapun bisa menulisnya dalam bentuk karya tulis dengan berbagai gaya.
“Yang tidak bisa adalah mengklaim suatu cerita sebagai milik suatu kampung. Adanya pemikiran yang curiga seakan orang akan mengambil suatu legenda dan membuat orang lain jadi kaya, itu paradigma lama dan sangat keliru. Pemikiran semacam itu harus diubah. Kalau tidak, justru akan mengaburkan khazanah budaya daerah,” ungkap Hapri.
Karena itu tidaklah berlebihan jika Towale memang disebut salah satu kampung kaya legenda yang tersembunyi.
Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay