PALU – Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako (Untad), Dr Slamet Riadi Cante mengaku sepakat jika Pilkada serentak tetap dilaksanakan tahun ini, tepatnya 9 Desember mendatang.

Asalkan, kata dia, semua pihak harus tetap taat dan patuh dengan protokol kesehatan, sebagaimana anjuran pemerintah untuk mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19. Kepatuhan tersebut, kata dia, utamanya dari pasangan calon (paslon) yang akan bertarung, untuk menjaga timnya agar senantiasa tidak melanggar protokol kesehatan, utamanya di masa kampanye.

“Hanya saja, saya sempat berdiskusi dengan KPU memang tidak ada regulasi yang bisa mendiskualifikasi paslon yang tidak taat aturan protokol kesehatan,” katanya, Rabu (30/09).

Padahal, kata Pengamat Kebijakan Publik itu, seharusnya ada aturan yang bisa mendiskualifikasi paslon yang tidak taat dengan protokol kesehatan.

“Karena saya melihat potensi kerumunan ini berasal dari para calon itu sendiri. Meskipun penyelenggara sudah membuatkan aturan yang ketat untuk menghindari kerumuman, tapi kalau tidak ada sanksi kepada yang melanggar, itu juga susah,” sesalnya.

Hal senada juga dikemukakan Dr Irwan Waris, akademisi FISIP Untad lainnya. Menurutnya, Pilkada serentak 2020 bisa tetap dilaksanakan, tentunya dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Caranya, kata dia, masing-masing stakeholder melaksanakan perannya.

“Misalnya begini, KPU saat melaksanakan pendaftaran bakal calon kepala daerah, tidak bisa mengatakan bahwa ranahnya hanya mulai dari pagar saja sampai di dalam gedung. KPU jauh hari sebelumnya sudah mengidentifikasi apa yang kemungkinan terjadi dalam rangka pendaftaran bakal calon itu. Mulai dari kantor partai politik, kemudian ke mana bakal calon akan bergerak yang tentu akan ada iring-iringan. Itu yang saya sebut identifikasi kerawanan, dalam konteks pandemi saat ini,” jelasnya.

Menurutnya, yang bisa membuat skenario itu adalah KPU sebagai penyelenggara. KPU pastinya sudah tahu akan ada penumpukan massa.

“Jadi ini bisa dibikinkan skenarionya. Kemudian ditugaskan pihak-pihak mana saja yang akan bertugas di luar pagar itu. Misalnya Satgas Covid-19, Pemda, TNI polri, dan tentu juga tokoh-tokoh masyarakat. jadi semua pihak ini, sebelum iring-iringan itu sampai ke KPU, semua sudah mengambil perannya masing-masing,” jelasnya.

Menurutnya, untuk bisa melakukan hal itu, maka sebelumnya perlulah dilakukan rapat koordinasi untuk mengidentifikasi apa yang akan dilakukan oleh masing-masing pihak..

Selain itu, kata dia, KPU juga harus menyiapkan berbagai media, misalnya sarana televise, radio, surat kabar, media online dan media sosial yang bisa menyiarkan secara real time semua tahapan yang dilaksanakan.

“Sehingga massa pendukung pun bisa berhura-hura, tapi dari rumahnya masing-masing melalui sarana yang dibaca atau ditonton,” ujarnya.

Namun, kata dia, yang justru terjadi adalah KPU selalu beralibi bahwa ranahnya hanya di dalam pagar kantor, sementara di luar itu bukanlah urusan mereka.

“Padahal tidak boleh seperti itu karena tidak profesional namanya. Yang profesional itu melihat secara holistik permasalahan yang ada di lapangan,” tuturnya.

Ia menilai, penyelenggara di daerah ini terlalu kaku, tidak kreatif dan selalu mengandalkan instruksi dari pusat.

“Padahal kan ada yang bisa dilakukan tanpa melanggar aturan,” tegasnya.

Ia juga menyinggung perihal pelaksanaan kampanye pasangan calon yang menurutnya juga boleh mengumpulkan massa. Ia menyarankan kepada pasangan calon melalui fasilitasi dari penyelenggara agar memanfaatkan media-media yang ada.

“Kepada pasangan calon, berikan saja materi-materi kampanye itu kepada media, nanti media yang kemudian menyiarkannya ke publik. Jadi kita juga bisa membiasakan diri untuk menggunakan teknologi-teknologi digital yang ada sebagai sarana kampanye,” tutupnya. (RIFAY)