Tina Ngata merupakan gelar bagi sosok perempuan yang ditokohkan masyarakat Ngata Toro. Dalam bahasa lokal, Tina artinya Ibu, sedang Ngata adalah Desa. Sebutan ini sendiri bermakna sebagai Ibu Desa atau Ibu Kampung. Sedang Desa tetangga mengenalnya dengan sebutan mamah kampung.
Tina Ngata memiliki pengaruh besar pada lika-liku orang Toro. Dalam penyelesaian perkara misalnya, Tina Ngata merupakan penentu jenis givu atau denda adat bagi siapapun yang melanggar hukum adat.
Sebuah persoalan sampai ke telinga Tina Ngata hari itu. Sebuah kasus asusila terjadi. Di sini, Tina Ngata kemudian menginstruksikan untuk langsung menggelar Potangara (Sidang Adat) guna menyelesaikan perkara yang dimaksud.
Beberapa saat kemudian orang-orang berpakaian khas adat Toro menapaki satu persatu anak tangga naik ke dalam Lobo (Balai Sidang Adat), merekalah tetua adat. Ikut setelahnya adalah to hala (Pelaku pelanggar adat).
Proses Potangara itu terbuka untuk umum, dengan sejumlah pertimbangan, salah satunya agar hal serupa tak kembali terulang. Kala itu, masing-masing pihak berdasarkan jabatannya langsung duduk bersila membentuk sebuah lingkaran.
Proses potangara diawali dengan mendengarkan nasehat-nasehat Tina Ngata. Ia mengingatkan hukum adat tidak memiliki keberpihakan kepada siapapun, sehingga keputusan yang dihasilkan betul-betul memiliki nilai keadilan untuk semua pihak.
Setelah itu sidang dilanjutkan dengan mendengarkan kronologis perkara secara lengkap dari kedua to hala yang posisi duduknya parsis di tengah-tengah lingkaran tersebut. Sekaligus di dalamnya terjadi proses tanya jawab antar tetua adat dan pelaku. Dialog terjadi, sahut-sahutan dari mulut ke mulut orang-orang bijak itu.
Perdebatan hebat kerap tak terhindarkan, terlebih menjelang pengambilan keputusan untuk menetapkan sanksi adat. Namun bukan Tina Ngata jika tak mampu mengatasi debat semacam itu. Sosok mamah kampung ini memiliki 1001 solusi untuk menengahi perdebatan yang ada. Salah satu caranya lantas ia melemparkan porsi bicara untuk para tokoh agama untuk memberikan pandangan-pandangan dari sisi religius. Tokoh agama Islam diwakili seorang Imam Masjid setempat, sedang agama Kristen diwakili seorang Pendeta.
Setelah sempat membuncah, suasana potangara biasanya kembali sejuk nan damai karena dua figur tersebut. Akan tetapi, jika suasana yang tadinya membuncah itu masih juga berlanjut, biasanya Tina Ngata akan berkesimpulan Potangara harus di skorsing dalam beberapa hari sampai pada waktu yang belum ditentukan.
Namun dalam masa skorsing itu, para tetua adat secara aktif berkomunikasi satu sama lain untuk segera menyelesaikan perkara tersebut. Jika masih juga belum menemui titik temu pada proses potangara lanjutan, skorsing akan kembali menjadi opsi Tina Ngata. Sampai pada saat lanjutan sidang adat kali ketiga, sanksi adat diputuskan dan ditetapkan pada pelaku.
Berat seketika suara Tina Ngata Rukmini Paata Toheke. Givunya adalah Hampole Hangu Hangkau.
“Mahomi mu oli mami bengka etu,” kurang lebih artinya Secepatnya beli Kerbau. Teriak warga dari luar Lobo menyambut putusan peradilan adat yang mulai jelas sampai ke telinga.
Warga menuntut agar pelanggar betul-betul melaksanakan sanksi adat yang diberikan. Membayar dengan satu ekor kerbau, sepuluh lembar dulang (nampan makan adat) dan satu lembar mbesa (kain adat) tanpa diganti dengan apapun. Lagi-lagi tina ngata harus turun tangan menenangkan warga yang sudah tersulut amarah. Bunyi pesannya :
“Tabe, tina ngata mojarita! (Permisi, Tina Ngata ingin berbicara)”
“Perapi tina ngata lokodoekanupa..(Permintaan Tina Ngata dari ujung kaki sampai ujung rambut)”
“Tatimba..(Mari Kita Timbang)”
“Namalai hi hanga bengka moma-momalata hakari..(Tidak pernah kita ingkari, sejak dulu hingga kini kerbau tak pernah berubah namanya, tapi)”
“Tapo pevai mo mami, mome humata to bada..(-tak ada lagi kerbau disini, tersisa hanya sapi)”
“Ada kodi-kodi, ada bohe-bohe..(Maka itupula dinamis mengikuti perkembangan zaman)”
Sekejap senyap. Hati yang lapang langsung menyambut putusan potangara. Namun hampole, hangu, hangkau bukan satu-satunya hukuman, melainkan yang harus dilaksanakan adalah Nora Eo (Pembersihan Kampung), yakni menyembelih seekor hewan putih di hulu mata air atau sungai, dengan menghadap ke hilir. Nompou Pale yakni mengikat tangan Pria kemudian dikembalikan pada keluarganya, serta memberi makan Totua Adat yang menggelar potangara.
Demikian Tina Ngata Toro memutuskan Givu (Denda Adat) kepada salah satu lembaga besar di Jakarta, 2006 lalu.
Lembaga itu diputus menjadi pihak pelanggar dengan jenis pelanggaran Ka Ala-ala, yakni mengambil sesuatu tanpa izin milik masyarakat Ngata Toro, dalam sidang peradilan adat.
Lembaga Adat Desa Toro seringkali menggelar peradilan adat dengan menghadirkan tokoh perempuan yang populer disebut Tina Ngata sebagai pengambil kebijakan.
Masalah-masalah yang melalui proses Potangara ada ini bermacam-macam, mulai dari persoalan berat, seperti perambahan hutan, pembunuhan dan asusila, sampai beberapa masalah semacam pencurian hingga konflik anak muda.