Tahapan Pilkada Serentak 2020, termasuk untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, kini telah melewati masa verifikasi berkas pasangan calon dan pengecekan kesehatan bakal calon.

Sejauh ini, kedua pasangan yang telah mendaftar, yakni Rusdi Mastura-Ma’mun Amir dan Hidayat Lamakarate-Bartholomeus Tandigala, dinyatakan telah memenuhi syarat.

Hampir dipastikan, Pilgub Sulteng tahun ini hanya akan mempertemukan dua pasangan calon. Head to head akan terjadi sebagaimana lima tahun sebelumnya, setelah pasangan Anwar Hafid-Sigit Purnomo Said (AS) yang semula sempat memiliki survey elektabilitas teratas, kandas karena tak mampu memenuhi syarat minimal kursi sebesar 20 persen atau 9 kursi di DPRD setempat.

Pasangan Rusdi Mastura-Ma’mun Amir memborong sepuluh partai sekaligus dengan capaian 33 kursi. Inilah yang mengantar mantan Wali Kota Palu dan Bupati Banggai dua periode itu melenggang menuju KPU Sulteng untuk mendaftarkan diri.

Koalisi “buncit” itu diisi oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda).

Menyusul kemudian tiga partai yang sebelumnya akan mengusung pasangan Anwar-Sigit, yakni partai Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrat.

Sementara kubu Hidayat-Bartho yang baru mendeklarasikan diri, Jum’at (4/9), hanya berhasil mengumpulkan 12 kursi. Walaupun sangat minim, tapi gabungan kursi antara Partai Gerindra dan PDI-Perjuangan sudah mampu memenuhi syarat, bahkan sudah melebihi dari syarat minimal.

Pasangan birokrat ini juga mendapatkan amunisi dukungan dari dua partai non seat (tanpa kursi di DPRD Sulteng), yakni Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Berkarya.

“Tersungkurnya” Anwar-Sigit dari arena politik Pilgub Sulteng, dinilai karena ketidakmampuan keduanya untuk meyakinkan pimpinan partai politik yang dilamar.

Memberi keyakinan bukan hanya dengan membawa modal hasil survei dan kursi partai politik yang sudah diperoleh sebelumnya, tetapi juga butuh finansial sebagai “mahar” tanda jadi persetujuan rekomendasi.

Ketua Umum Relawan AS, Iqbal Andi Magga, mengatakan, dugaan adanya adu financial dalam perebutan partai, adalah hal yang biasa. Sebab, kata dia, saling rebutan partai juga bagian dari usaha politik untuk memenangkan pertarungan.

“Kami juga akan melakukan hal yang sama bila terbuka peluang untuk mengumpulkan seluruh parpol di barisan kekuatan kami untuk menang,” ungkapnya, belum lama ini.

Bahkan, kata dia, dinamika tersebut biasa terjadi di seluruh Indonesia. Tak heran, lanjut dia, jika ada paslon yang pada akhirnya melawan kotak kosong karena terlalu bersemangat mengumpulkan seluruh parpol di barisannya.

Namun, demikian, hal semacam itu kurang demokratis, karena memaksa rakyat untuk hanya memilih dengan sangat terbatas dan tidak melahirkan kompetisi yang sehat di masyarakat.

“Semacam tidak terjadi adu gagasan untuk menyejahterakan rakyat secara ketat,” katanya.

Kata dia, dengan kondisi saat ini, sampai terjadi penurunan angka partisipasi pemilih, maka penyelenggaraan Pilkada harus dievaluasi.

“Evaluasi bisa berupa pembatasan jumlah maksimal parpol pengusung atau fleksibilitas parpol yang memiliki jumlah kursi lebih di parlemen. Atau ada suatu regulasi khusus yang mengatur untuk memperbanyak jumlah kandidat agar rakyat punya banyak pilihan,” pungkas Eki, sapaan akrabnya.

Terpisah, Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasional Demokrasi (NasDem) Sulteng, Muslimun, membantah adanya praktik adu finansial dalam mendapatkan rekomendasi B1KWK dari partai politik, di Pilgub kali ini.

Sejak pemilu yang lalu, kata dia, pihaknya tegas mengampanyekan politik tanpa mahar. .

“Saya tidak tahu kalau ada uang yang berseliweran. Artinya, kalau kita menuduh juga kan repot karena tidak ada bukti, kecuali ada hitam di atas putih. Karena semua partai politik mengajarkan berdemokrasi yang baik. Cuma saya tidak tahu kalau yang lain menerapkan mahar politik untuk mendapat kursi,” terangnya.

Sejatinya, kata dia, hal semacam ini tergantung dari cara meyakinkan setiap partai politik, dalam hal ini pihak di DPP untuk setiap paslon mendapatkan rekomendasi.

Sekaitan dengan itu, Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Ahmad M Ali, juga pernah menyampaikan, politik bukan milik orang berduit, tetapi milik orang yang memiliki gagasan.

“Politik adalah harapan semua orang dan kaum milineal,” katanya usai menghadiri konsolidasi dan Deklarasi Barisan Relawan Rusdi Mastura-Ma’mun Amir (Barracuda), di salah satu hotel, di Kota Palu, Ahad (20/09).

Ia mengatakan, jika ingin menguatkan demokrasi di masa depan, maka jalan satu-satunya adalah memberikan harapan kepada semua orang, bahwa politik adalah ruang partisipasi mengakselerasikan kemampuan mereka.

Ia mengatakan, Sulteng membutuhkan pemimpin punya gagasan, punya pengalaman dan jejak rekam.

“Jadi kita tidak mau coba-coba atau berspekulasi,” kata Ketua Fraksi NasDem di DPR RI itu.

Dia menyebutkan, NasDem beserta koalisi berkeyakinan betul, pemimpin yang bijak adalah orang yang mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat.

“Jadi tidak dikualifikasikan berdasarkan umur biologisnya, tapi idiologinya,” ujarnya.

“Di tim ini diinstruksikan untuk tidak pernah mengoreksi atau mem-brand kelemahan pasangan lain, sebab tidak ada manusia yang sempurna,” pungkasnya.

Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Tadulako, Dr Irwan Waris, menilai masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa telah terjadi praktik adu finansial dalam perebutan partai.

Ia menerangkan, seleksi yang dilakukan partai politik kepada para figur yang mendaftar, tidak hanya melihat dari satu variabel seperti finansial, melainkan banyak variabel lain yang menyebabkan partai politik memberikan dukungannya.

“Jadi bukan semata-mata faktor finansial. Artinya terlalu pagi ada kesimpulan seperti itu. Bahkan sulit untuk dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Kalaupun ada, hemat Irwan, variabel penilaian dengan faktor finansial itu berada di urutan bawah. Sebab yang utama bagi parpol adalah menjatuhkan pilihannya dari hasil survey elektabilitas kandidat.

“Faktor ini sulit untuk ditandingi pesaingnya,” tekannya.

Kemudian, lanjut dia, terdapat variabel yang langsung berasal dari denyut nadi masyarakat yang direkam oleh partai yakni menginginkan seorang kepala daerah berdasarkan kebutuhan yang ada.

“Serta sejumlah variabel penting lainnya, sehingga faktor finansial tersebut berada di urutan bawah,” kata Dosen Ilmi Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untad itu.

Reporter : Faldi
Editor : Rifay