PALU – Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Sulawesi Tengah (Sulteng) mengeluarkan pernyataan sikap terkait wacana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menuai banyak kontraversi tersebut.

Pernyataan sikap tersebut dikeluarkan berdasarkan pembahasan Tim Kajian RUU HIP pada Rabu, 8 Juli lalu dan hasil rapat PW Muhammadiyah pada Selasa 14 Juli kemarin.

Sekretaris PW Muhammadiyah Sulteng, Muh Amin Parakkasi kepada MAL Online, Rabu (15/07), mengatakan, pihaknya mendukung pernyataan dan langkah-langkah yang ditempuh PP Muhamamadiyah dalam upaya penolakan RUU HIP tersebut.

“Menyatakan bahwa pembahasan RUU HIP tersebut harus dibatalkan dan dicabut dari prolegnas karena tidak memiliki urgensi untuk ditetapkan menjadi undang-undang,” tegasnya.

Ada beberapa poin alasan yang tertuang dalam pernyataan sikap tersebut, di antaranya penamaan RUU HIP telah mereduksi atau mengurangi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi menjadi lebih sempit  secara pragmatis.

Selain itu, substansi RUU HIP bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 karena selain mereduksi rumusan Pancasila juga memberi tafsir baru terhadap ciri-ciri Pancasila yang tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.

“Hal itu tampak dari adanya frasa Trisila dan Ekasila, serta frasa ketuhanan yang berkebudayaan dalam Pasal 7 RUU HIP,” ungkap Amin.

Selain itu, lanjut dia, RUU HIP tidak urgen merumuskan visi masyarakat Pancasila dalam Pasal 10 RUU HIP dan Misi Masyarakat Pancasila dalam Pasal 11 RUU HIP.

“Visi dan misi itu sudah menjadi bagian dari Visi dan Misi Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945,” tuturnya.

Tak hanya itu, RUU HIP juga lebih mengedepankan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila. Hal ini, kata dia, mengecilkan atau menegasikan makna Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sendi pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945.

“Semua peraturan perundang-undangan (juga termasuk keputusan pejabat Tata Usaha Negara) mencantumkan frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang diletakkan di atas setelah nomor dan judul peraturan atau keputusan sebagai asas atau dasar keabsahannya,” tambahnya.

Dengan demikian, kata dia, maka Ketuhanan Yang Maha Esa atau Sila Pertama Pancasila merupakan sendi pokok pertama dan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melebihi makna dari sendi keadilan sosial. Semua cabang kekuasaan dalam Negara RI berpijak pada Sila Pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) ketika menetapkan peraturan hukum atau keputusan/putusan.

“RUU HIP tidak hanya terkesan mendikotomikan antara masyarakat Pancasila dengan negara Indonesia berdasarkan Pancasila, tetapi juga berlebihan bahkan rancu dalam menggambarkan masyarakat Pancasila,” pungkasnya. (RIFAY)