SIGI – Aksi Cepat Tanggap (ACT) terus memperluas cakupan wilayah implementasi bantuan program bertajuk Masyarakat Produsen Pangan Indonesia (MPPI). Tak terkecuali di Sulawesi Tengah (Sulteng). Kali ini, sasarannya adalah petani di Desa Pakuli Utara, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.

“Implementasi Program MPPI didukung Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras (Perpadi) ini, dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan tanam raya di lahan seluas 106 hektare oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulteng,” ujar Kepala Cabang ACT Sulteng, Nurmajani Loulembah, Rabu (08/07).

Kata dia, Program MPPI ACT menyasar 30 anggota Kelompok Tani Harapan Jaya 2, dengan harapan agar mereka mampu memproduksi hasil panen dengan kualitas dan kuantitas lebih baik. 

“Selain program pemberdayaan, ACT Sulteng juga menyalurkan bantuan modal berupa pupuk dan obat hama untuk meningkatkan kualitas hasil panen,” katanya.

Wanita yang akrab disapa Nani itu menjelaskan, Program MPPI diselenggarakan untuk mendongkrak kesejahteraan bagi petani, di Desa Pakuli dengan melihat panjangnya mata rantai pengolahan dan distribusi beras akibat ulah tengkulak yang banyak mengambil keuntungan.

“Bahkan para petani, notabene masyarakat kecil, tidak punya kekuatan untuk menguasai mata rantai distribusi, karena tidak memiliki akses terhadap modal, teknologi dan juga pengetahuan cukup. Sehingga, harga jual gabah di tingkat petani turun pada musim panen,” ungkapnya.

Untuk itu kata Nani, kedepannya, melalui Program MPPI, ACT Sulteng berikhtiar mensejahterakan para petani di Kabupaten Sigi, dengan berfokus pada pemberdayaan petani akan dijadikan stakeholder utama dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Sebab, Sigi merupakan daerah penyuplai beras untuk beberapa kabupaten termasuk Kota Palu, bahkan ditetapkan menjadi lumbung padi di Sulteng.

“Insya Allah kami terus hadir untuk membersamai para petani yang saat ini masih menjerit, karena terus-terusan berutang untuk mendapatkan modal di masa tanam. Harapannya, melalui program ini, petani di Desa Pakuli Utara dapat diberdayakan dan mencapai tingakat kesejahteraan yang lebih baik,” tambahnya.

Sementara itu, Bupati Sigi, Moh. Irwan Lapata dalam sambutannya mengatakan, beberapa hal harus didorong untuk mewujudkan kesejahteraan petani, yakni dalam rangka penguatan ekonomi khususnya pertanian. Artinya jika sebelumnya petani menanam untuk kebutuhan keluarga, maka kedepannya harus meningkatkan produktivitas padi untuk ketahanan pangan. Sehingga masyarakat petani dituntut untuk mempelajari teknologi terbaru. Salah satunya, Teknologi Jarwo Super dan VUB Inpari Padjajaran.

“Penguasaan teknologi itu sangat penting, kenapa ? karena ketika kita punya alat tapi tidak dikuasai, hasilnya juga nihil dan tidak sesuai dengan diharapkan. Nah ketika kita ada alat, dan didukung oleh penguasaan alat oleh petani, maka tujuan kita bisa tercpai,” ucap Irwan Lapata.

Selain itu kata dia, dengan teknologi, petani bisa mengatur manajemen kerja, mengurangi jam kerja bahkan mengurangi tenaga pekerja. Sehingga, berapapun target, orang nomor satu di Sigi itu yakin bisa tercapai.

“Misalnya sawah dengan luasan 10 hektare. Jika 1 hektare bisa mencapai hasil gabah 11 ton, berarti dengan 10 hektare akan menghasilkan 110 ton. Nah, target ini akan dicapai melalui manajemen dikelola oleh petani berdasarkan hasil peningkatan kapasitas dari penyuluh melalui teknologi-teknologi terbarukan dapat meningkatkan pendapatan petani, begitu juga pendampingan dari ACT Sulteng tentunya,” terangnya.

Dikesempatan yang sama, Ketua Kelompok Tani Jaya 2, Mohammad Irwan menambahkan, Program MPPI dilaksanakan di Desa Pakuli Utara, Kecamatan Gumbasa ini, bukan tidak beralasan. Pasalnya, beberapa tahun terakhir, para petani terus menjerit akibat harga jual dari tengkulak yang dinilai begitu rendah. Penghasilan petani tidak sesuai harapan, karena harga padi terus merosot selama empat bulan terakhir ini. Ditambah lagi dengan musibah Covid-19, seakan derita petani tidak kunjung usai.

“Luas lahan kami miliki tidak berdampak pada penghasilan kami, karena saat panen harga padi tak sesuai harapan, padahal segala daya dan upaya telah kami lakukan selama empat bulan musim tanam,” keluhnya..

Irwan ini menjelaskan, permainan tengkulak dan pihak penggilingan padi skala besar terus terjadi. Pasalnya, ada keterikatan perjanjian ketika petani meminjam modal untuk digunakan di masa tanam. Sehingga, hasil panen pun hanya bisa digunakan untuk membayar utang dan menyambung hidup sehari -hari.

“Yah, kondisi seperti ini terus terjadi, ketika musim tanam tiba, mereka terpaksa berutang lagi, baik ke bank maupun rentenir, jadi hidup kami ini hanya untuk membayar utang,” akunya.

Senada dengan hal tersebut,m salah satu petani, Nadra (43) mengaku, hingga saat ini harga gabah di tingkat petani begitu rendah. Belum lagi mendapat potongan hasil karena berutang modal di masa tanam.

“Kita ambil uang pengolahan dari tempat pengolahan, pas panen kita dapat Rp325 ribu per sak ukuran 50 kilogram, tapi kalau di luar dari utang, Rp480 satu sak, di sini macam-macam, kalau padi cinta nur, santana, sampai Rp 500 ribu,” sebutnya.

Dia membenarkan, hampir rata-rata petani di Desa Pakuli hidup dengan berutang ketika masa tanam. Hal itu terus mereka lakukan karena pengasilan habis untuk kebutuhan keluarga. Belum lagi harga pupuk  terus mengalamim kenaikan.

“Mau ambil uang pengolahan dari mana? tidak ada modal sendiri. Apa biasa tebar bibit, nanti dua bulan setelah masa panen, kita tentu juga sudah kepepet. Jadi tinggal ambil uang pengolahan, ambil Rp2 juta sampai Rp3 juta.  Alhamdulillah kami simpan memang untuk dimakan beberapa karung, sisanya dibawah ke penggilingan dan bayar utang, sisanya itu untuk kita,” jelasnya. (IKRAM)