Apakah masyarakat kehilangan pegangan untuk saat ini?

Kira-kira itu yang tadi ditanyakan  seorang kawan kepada saya, pertanyaan yang muncul ketika kami berdua sedang menikmati senja di bukit sekitar lembah Palu. Saya bertanya balik kepadanya. Kenapa bertanya seperti itu ? Jawabanya cukup membuat saya merenung. Dia memberikan jawaban singkat dalam bentuk pertanyaan yang terus terngiang di benak saya.

“Apakah ada yang dapat menjadi teladan bagi kita sekarang ini bung?” Demikianlah tanyanya.

Benar juga fikirku. Bangsa ini kehilangan bapaknya. Seakan ayam lepas dari induknya. Saya sangat mengerti maksud pembicaraan sore tadi. Baru-baru ini ada kejadian  sangat membuat hati meringis sehingga ucapan kawan itu ada benarnya. Apalagi kalau bukan tentang kegagapan menghadapi Pandemi ? Sungguh miris ketika melihat para pembuat aturan justru melanggar aturan dibuatnya sendiri. Bangsa ini benar-benar kehilangan keteladanan.

Semua kalangan masyarakat terdiri dari berbagai lapisan telah mengetahui bahwa manusia sekarang sedang menghadapi tantangan baru dalam peradabanya. Ada yang sepakat bahwa ini adalah fase lompatan bagi peradaban manusia menuju kemajuan  lebih gila lagi. Ada pula  berpandangan hal ini merupakan akhir manusia menunjukkan sikap congkaknya dimuka bumi, pandangan ini melihat bahwa manusia harus kembali lagi pada hakikatnya sebagai bagian dari alam. Manusia diangap terlalu jauh mengambil hak alam dalam sisi kehidupanya. Sehingga kembali kepada alam merupakan keuntungan dari pandemi ini. Back to nature!

Back to nature! Beberapa laporan memperlihatkan bahwa situasi dan kondisi alam mulai membaik disaat pandemi ini mampu melumpuhkan banyak aktivitas manusia. Lihatlah bagaimana sungai Gangga di India menjadi lebih jernih. Sungguh mengejutkan ketika sungai cairan gletser Himalaya itu memperoleh predikat bersih, setelah sebelumnya memiliki predikat sebagai salah satu sungai terkotor di dunia. Hasil yang tidak pernah dicapai oleh negara itu selama beberapa dekade. Faktor yang memberikan dampak baik pada sungai Gangga adalah kebijakan lockdown oleh otoritas India. Tentu saja alasan penerapan kebijakan lockdown untuk menghentikan penyebaran virus corona. Kebijakan itu mengharuskan  menutup sekolah, kantor, industri, alat transportasi, dan memaksa orang-orang tetap di rumah. Alhasil polusi semakin menurun, alam semakin menunjukkan kemurnianya. Anggap saja bonus dari pandemi sekarang adalah udara yang lebih bersih. Itu hanya satu negara India, Belum lagi pada belahan bumi lainya. Anggapan kembali kepada alam semakin kuat lagi. Back to nature seakan jadi kunci bagi manusia untuk menghentikan pandemi kali ini.

Kembali pada bagian keteladanan. Ketika back to nature menjadi gaungan dari beberapa tokoh dalam menghadapi pandemi kali ini, ada lagi soal lain sangat perlu menjadi perhatian. Terutama terkait dengan keteladanan dari para pemimpin saat ini. Pertanyaan mendasar, Apakah penguasa akan mengembalikan marwahnya sebagai pemimpin, ataukah hanya ingin menjadi bahan bullyan di media social ? Apakah pemimpin ingin dicatat sebagai loser oleh para sejarawan di masa depan ketika kalah menghadapi pandemic atau ingin dicatat sebagai ksatria ketika menang melawan pandemi ? Tentu saja setiap orang tak ingin dicap pecundang. Tetapi mengapa kebijakan dikeluarkan seakan memberikan jalan mulus bagi para sejarawan untuk menulis kepencundangan kita dalam menghadapi pandemi sekarang ? Apakah kita tidak memikirkan suatu keteladanan akan kita wariskan kepada anak-cucu kita dimasa depan ? Setidaknya beberapa pertanyaan itu dapat menjadi dasar bagi para pemegang  kekuasaan ketika mereka akan mengambil kebijakan fundamental bagi publik.

Keteladanan di atas sangat sulit ditemukan sekarang. Ada satu dua pemimpin berfikiran seperti itu. Lainya nampak tidak memiliki perhatian terhadap hal dasar rakyat. Masih ada yang hanya memikirkan membuat kekuasaanya langgeng. Semakin kelihatan lucu ketika para pemegang kekuasaan mengatur negara hanya dengan imbauan atau surat edaran. Sungguh memalukan bukan ? Bukankah mengatur negara harus mengunakan tools yang dinamakan dengan peraturan? Setidaknya itu yang diajarkan di fakultas hukum seantero negeri ini. Ah sudahlah. Kesal rasanya kita membahas tentang surat-surat edaran dan imbauan itu.

Sekarang semakin lucu lagi keadaanya. Ketika rakyat diimbau dan diminta untuk tetap di rumah agar terhindar dari kerumunan, tetapi beberapa kelompok pejabat malah membuat agenda  mengakibatkan kerumuman terjadi. Sungguh meradang rakyat dibuatnya. Beberapa orang yang saya temui memiliki pandangan hampir sama. Kok mereka yang membuat aturan main justru menjadi garda terdepan untuk melanggar “peraturan” yang dibuatnya sendiri.

Warga yang saya tanya ini baru melihat berita tentang acara pisah sambut di salah satu daerah. Apa mau dikata, ternyata ada peserta dari pisah sambut itu positif virus. Sudah jelas jika virus ini bisa menyebar dengan mudah saat agenda dilaksanakan. Otomatis untuk cluster agenda itu harus dicap sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP), Mereka harus diisolasi. Hal tersebut merupakan sesuai surat edaran dari kementrian kesehatan. Edaran itu juga mengarahkan agar  orang dalam pemantauan lama isolasi adalah 14 hari hingga diketahui hasil pemeriksaan di laboratorium. Sudah selayaknya orang dalam pemantauan melakukan aktivitasnya untuk tinggal di rumah. Jangan pergi bekerja dan ke ruang publik. Sangat disayangkan arahan dari kementrian kesehatan itu tidak dijalani seutuhnya oleh pejabat. Buktinya sehari setelah agenda pisah sambut, para pejabat melakukan aktivitasnya seperti  biasa. Tentu saja selaku pejabat akan bertemu orang lain. Rakyat semakin bingung, sebab menurut informasi butuh waktu hingga 14 hari untuk masa inkubasi virus. Bagaimana jika para pejabat itu merupakan carrier virus tanpa gejala? Ada-ada saja kelakuan pejabat kita ini.

Saat percakapan sore itu mencapai klimaksnya, kawan saya bertanya lagi. Apakah pejabat kebal virus ini?

“Tentu saja tidak. Semua orang sama dihadapan virus ini. Tidak kenal rakyat jelata maupun pemilik tahta. Tak peduli pengemis maupun farmasis. Tak peduli penari maupun menteri. Semuanya dapat terpapar virus ini. Virus ini bukan seperti hukum kadang memberikan privilege kepada seseorang” jawabku sekenanya sesuai pengetahuan dangkalku soal dunia medis.

“Nah, itulah yang ku maksud bahwa sekarang masyarakat kehilangan pegangan bung. Apa yang diatur, siapa yang mengatur, dan siapa yang melanggar aturan yang diatur. Intinya What and Who? Bung, Hal yang paling menyakitkan bagi rakyat bukanlah tusukan pedang yang menembus jantung. Sungguh itu tak seberapa menyakitkan dibanding dengan penghianatan yang menembus hati. Anggap saja melanggar kebijakan yang dibuat sendiri merupakan suatu penghianatan bung. Menuntut rakyat untuk disiplin, tetapi pejabatnya tidak menunjukkan teladan. Akhirnya rakyatpun jauh lebih liar.” ujarnya dengan intonasi agak kesal. Kalimatnya itu sekaligus menutup percakapan kami tentang Pandemi sebab senja mulai terbenam di angkasa.

Penulis : Ketua Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) Kabupaten Sigi, Rizaldy Alif Syahrial