Salah satu sandaran harapan Pemerintah Kota (Pemkot) Palu dalam melaksanakan proses rehab rekon pascabencana alam 28 September 2018 silam adalah dana pinjaman dari Bank Dunia (World Bank) untuk pembangunan hunian tetap (huntap) senilai Rp1,4 triliun.

Mengelola dana dengan nilai yang cukup besar itu tidaklah mudah, tidak asal dibelanjakan begitu saja. Penggunaannya mengacu pada mekanisme yang mau tidak mau harus dilaksanakan oleh sang peminjam dana.

Sebut saja urusan lahan pembangunan huntap yang tidak boleh berperkara, sekecil apapun itu.

Inilah problem utama yang dihadapi pemerintah demi memuluskan perjuangan untuk menyediakan hunian layak bagi warganya yang terdampak bencana hebat, dua tahun silam.

Ada segelintir pihak yang dinilai telah mengganggu jalannya proses penggunaan dana tersebut, dengan cara menghalang-halangi penggunaan lahan yang sebelumnya telah disediakan untuk pembangunan huntap tersebut.

Bak setetes nila dalam susu sebelanga, tindakan yang dilakukan segelintir orang ini, tanpa sadar telah berakibat buruk pada terlantarnya ribuan penyintas yang saat ini masih berteriak di tenda-tenda pengungsian dan hunian sementara (huntara).

Wali Kota Palu, Hidayat yang dimintai keterangannya, mengatakan, proyek rehab rekon pembangunan huntap mendapat pengawasan yang cukup ketat dari Bank Dunia selaku pemilik dana. Mereka secara detail akan mengamati proses itu, bahkan pada hal-hal yang paling kecil.

“Ini persoalan serius untuk kota Palu ke depan karena pembangunan huntap itu dibatasi hanya selama 2 tahun saja, dan jika masih ada  persoalan sekecil apapun, maka pastinya proses pembangunan akan tersendat,” katanya, baru-baru ini.

Ia mengungkapkan ada sejumlah warga yang coba mengganggu jalannya pembangunan huntap di Kelurahan Talise. Mereka memagar lokasi tersebut, padahal itu merupakan milik pemerintah provinsi (pemprov) yang sudah diserahkan ke Pemkot Palu untuk pembangunan huntap.

“Saya sudah sampaikan, jika ada warga yang merasa memiliki lahan dan mempunyai bukti kepemilikannya, silahkan mengajukan tuntutan melalui jalur hukum. Namun saya minta, biarkan proses huntap itu tetap berjalan. Tolong janganlah diganggu,” pintanya.

Ia menguraikan, jumlah penyintas yang akan diarahkan masuk ke huntap adalah sebanyak 7000 Kepala Keluarga (KK). Jika dikalikan tiga orang saja dalam 1 KK, maka ada 21 ribu jiwa yang akan terlantar akibat ulah oknum tersebut.

Hidayat mengajak kepada semua elemen untuk berpikir jernih dalam melihat persoalan kebencanaan yang ada di Kota Palu saat ini.

“Jangan membawa persoalan bencana ini ke ranah politik. Tanggalkanlah dulu kepentingan politik. Mari kita berpikir jernih dalam melihat persoalan ini, karena kalau proyek huntap ini gagal, maka siapapun yang menjadi Wali Kota Palu ke depan tidak akan mampu menyelesaikannya,” tuturnya.

Ia mencontohkan persoalan pembangunan huntara di Kelurahan Balaroa yang akhirnya dibatalkan oleh donatur akiba ulah segilintir orang yang memimpin warga untuk melakukan demo menolak huntara.

“Akhirnya sekarang ini, tidak sedikit warga Balaroa yang masih hidup di tenda-tenda pengungsian. Mereka yang masih berada di tenda itu datang kepada saya dan meminta untuk dibangunkan huntara lagi. Nah, inikan kasian. Akibat ulah segelintir orang, kemudian berdampak terhadap kesengsaraan warga,” sesalnya.

Hidayat juga menanyakan kepada para warga, apa alasan mereka menolak huntara dan siapa yang memimpin demo penolakan itu.

“Mereka bilang bahwa orang-orang itu sudah pergi entah ke mana. Ini menjadi pelajaran untuk kita semua dan jangan sampai terulang lagi,” tandasnya.

MASA PINJAMAN DARI WORLD BANK BERAKHIR BULAN INI

Kepala Balai Prasarana Pemukiman (BPPW) Sulteng, Ferdinan Kana’lo, menjelaskan, pinjaman dana dari Bank Dunia ada masa waktunya. Kata dia, dana itu bukanlah ditarik, tapi dana senilai 100 Juta Dolar atau Rp1,4 triliun itu berakhir masa pinjamannya, akhir April tahun ini.

“Namun jika ada perpanjangan hingga Desember 2020 atau April 2021 nanti, tetapi harus sudah dilist sekarang dan harus fix hingga akhir tahun karena akan disampaikan ke World Bank bahwa kami akan tetap menggunakan dananya dan penyerapannya akan berakhir pada Desember atau April. Artinya kita harus meminta tambahan 4 bulan lagi,” kata Ferdinan.

Menurutnya, list itu memuat sekian banyak warga yang siap untuk masuk ke huntap karena sistem pembangunan huntap oleh World Bank adalah kerelaan warga untuk pindah.

“Dalam artian, berapa banyak warga yang menyatakan siap untuk pindah, begitu juga jumlah rumah yang akan dibangun,” tuturnya.

Persoalan sekarang, tambah Ferdinan, masyarakat belum memilih untuk mengikuti skema dari pemerintah, yakni pindah ke lokasi kawasan huntap.

Lebih lanjut ia mengatakan, masa pinjaman dari World Bank akan berakhir. Jika mengajukan lagi ke pemrintah pusat, tentunya pemerintah pusat akan mencari lagi sumber pembiayaan. Hal ini tidak mungkin bisa lahir dari rupiah di tengah ke masa pandemi Covid-19. Solusinya adalah pinjaman luar negeri.

“Ini pinjaman ada bunganya dan sudah stand bye di bank. Jadi selama satu tahun lebih ini kita bayar bunganya. Paling konyolnya lagi, sudah bayar bunga, sekarang kena pinalti lagi karena harus bangun mundur sampai Desember,” jelasnya.

Ia menjelaskan, pemerintah ingin menolong warga yang tidak berdaya. Jika ada warga yang tidak mau memilih bantuan itu, artinya sudah berdaya dan tidak ada lagi pembangunan huntap tahap dua karena warganya dianggap sudah mapan.

Padahal, kata dia, rumah yang akan dibangunkan nanti, nilainya jauh lebih tinggi daripada rumah yang ada di insitu dan huntap satelit.

“Pada saat mereka butuh uang untuk modal usaha nanti, rumahnya bisa dipakai untuk agunan di bank. Saya berani perkirakan bahwa harga rumah di kawasan itu sekitar Rp500 juta. Berarti kalau nialinya seperti itu mereka bisa dapat pinjaman dari bank sekitar 50 persen dengan nilai Rp250 juta. Ini akan sangat menguntungan mereka dibandingkan dengan rumah yang akan dibangun dengan nilai sekitar Rp50 juta,” terangnya.

Olehnya, ia mengajak warga untuk berpikir secara bijak dalam melihat hal ini dan segera mengambil siap untuk segera mendaftarkan diri memilih huntap yang berada di kawasan yang didanai World Bank tersebut.

“Apalagi kawasan yang akan kita bangun itu dengan standar yang bagus seperti contoh kawasan Citra Land. Contohnya bisa dilihat seperti di Pombewe dan Tondo. Namun untuk Talise nanti kita akan bikin lebih bagus lagi, dengan skema awal akan dibangun sebanyak 300 ribu unit,” tuturnya.

Di dalam kawasan, kata dia juga akan dibangun berbagai fasilitas umum, seperti sekolah, Puskesmas, pasar, taman, ruang terbuka hijau dan sebagainya.

Ferdinan juga mengungkapkan adanya salah satu penolakan warga atas pembangunan  sekolah di Talise. Padahal, kata dia, tujuan sekolah itu dibangun jelas manfaatnya kepada warga sekitar.

“Kita berharap proses huntap ini, khusunya persoalan lahan yang ada di Talise itu jangan diganggu karena akan menelantarkan ribuan orang. Kita tidak menginginkan adanya benturan warga di kemudian hari. Yang dikhawatirkan, kalau pembangunan huntap kali ini batal, maka ribuan orang pasti ngamuk,” imbuhnya. (HAMID)