OLEH: Sahran Raden*

Tulisan ini sebagai kelanjutan dari tulisan saya pada tanggal 23 Maret 2020, dengan judul Opsi Perppu untuk Penundaan Tahapan Keseluruhan Pemilihan 2020. Selanjutnya, tujuh  hari setelah tulisan ini, saya melihat ada banyak tulisan lain yang muncul serta dinamika pemikiran dan gagasan agar Presiden membuat Perppu sebagai opsi penundaan Pilkada 2020.

Akhirnya dalam Rapat Dengar Pendapat senin 30 Maret 2020 antara  KPU, Bawaslu, DKPP, Pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri, dan Komisi II DPR, disepakati empat hal dalam penundaan pemilihan 2020.

Empat hal kesepakatan itu  yakni ; Pertama, melihat perkembangan pendemi Covid 19 yang saat ini belum terkendalidan demi mengedapankan keselamatan masyarakat Komisi II DPR RI menyetujui penundaan tahapan piada serentak 2020 yang belum selesai dan belum dapat dilaksanakan.

Kedua, pelaksanaan Pilkada lanjutan akan dilaksanakan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah dan DPR.

Ketiga, dengan penundaan pelaksanaan pilkada serentak 2020 maka Komisi II DPR RI meminta Pemerintah untuk menyiapkan payung hukum  baru berupa Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang Undang  (PERPPU).

Keempat, dengan penundaan pelaksanaan pilkada serentak 2020, Komisi II DPR RI meminta kepada kepala daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak 2020 merelokasi dana Pilkada serentak  pilkada serentak 2020 yang belum terpakai untuk penanganan pandemi Covid-19.

Berdasarkan hasil di atas, dapat dipastikan bahwa Pemilihan Serentak Tahun 2020 yang voting day-nya dilaksanakan pada tangal 23 September 2020 mengalami penundaan.

Pemerintah selanjutnya diminta DPR untuk menyiapkan skenario hukum berupa Perppu untuk mengatur pemilihan lanjutan ini.

ESENSI PERPPU

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Secara konstitusional, Perppu diatur dalam Pasal 22 ayat (1)  UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Terhadap hal ihwal kegentingan memaksa ini dapat dimaknai adalah suatu keadaan yang sukar, penting dan krusial yang sifatnya tidak dapat diduga diperkirakan dan diprediksi sebelumnya.

Dasar kegentingan memaksa, jelas yakni dengan adanya pernyataan dari pemerintah melalui gugus tugas nasional penanggulangan penyebaran Covid-19 tentang status tanggap darurat secara nasional hingga 29 Mei 2020.

Memperhatikan perkembangan dan kondisi situasi yang terjadi saat ini penyebaran Covid-19 yang cenderung meluas dan massif hampir pada seluruh daerah yang akan melaksanakan pemilihan. Sehingga sulit KPU sebagai penyelenggara Pilkada untuk mengosolidasikan tahapan pemilihan sampai pada hari pemungutan suara.

Dengan penyebaran Covid-19 yang meluas dan telah banyak menimbulkan korban, maka Presiden mempertimbangkan hal ini sebagai hal ihwal kegentingan memaksa untuk diterbitkan Paraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang atau Perppu.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor: 138/PUU-VII/2009 tertanggal 8 Februari 2010 menjadi penjelas mengenai syarat diterbitkannya sebuah perppu. Melalui putusan itu Mahkamah Konstitusi menetapkan tiga syarat hal ihwal kegentingan memaksa, yakni; Pertama, adanya keadaan yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua; undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang undang tapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebur perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dengan melihat keadaan dan kondisi negara yang dalam keadaan darurat bencana nasional  dimana Covid-19 menyebar menjadi pendemi global. Presiden Jokowi juga telah menerapkan kebijakan pembatasan sosial skala besar untuk mencegah penularan wabah Covid-19 secara efektif, bahkan lebih radikal jika upaya kebijakan pembatasan skala besar ini gagal tidak dilakukan secara konsisten dan efektif, maka Presiden bisa mengambil kebijakan darurat sipil.

Dimana, status darurat sipil ini merupakan kebijakan terakhir jika kebijakan pembatasan skala besar tidak berjalan dengan efektif.

Dalam hal ini, maka hal ihwal kegentingan memaksa secara hukum telah relevan sehingga patut bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu sebagai dasar hukum pelaksanaan pemilihan lanjutan.

MATERI MUATAN PERPPU PEMILIHAN

Paling tidak perlu dipikirkan bersama antara KPU, Bawaslu, DKPP, Pemerintah dan DPR serta adanya saran dan usulan pada pegiat pemilu untuk menyusun naskah akademik materi muatan Perppu yang bisah diajukan ke Pemerintah atau Presiden.

Terkait dengan materi muatan Perppu diatur pada Pasal 11 UU 12/2011 yang menyebutkan bahwa materi muatan Perppu sama dengan materi muatan undang-undang.

Lalu perihal pengaturan materi muatan tersebut (UU dan Perppu) diatur lebih rinci dalam Pasal 10 UU 12/2011 yaitu materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi; pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang, pengesahan perjanjian internasional tertentu,  tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/ataupemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Alasan pemenuhan hukum dalam masyarakat terkait dengan pelaksanaan pemilihan dianggap relevan dimana norma atau materi muatan pengaturan Pemilihan itu diatur dalam Perppu terkait dengan pemilihan lanjutan.

Bahwa secara hierarki Undang-Undang memiliki tingkatan yang sama dengan Perppu sehingga fungsi maupun materi muatan Perppu juga sama dengan undang-undang. Beberapa muatan materi yang perlu diatur dalam perppu terkait dengan isu isu krusial dan kontemporer yakni :

  1. Desain Waktu

Materi muatan perppu perlu mengatur skema dan opsi pemungutan serentak dimana DPR mengajukan  tiga opsi yakni, Opsi A, pemungutan suara dilakukan pada hari Rabu tanggal 9 Desember 2020 tunda tiga bulan.

Opsi B, pelaksanaan pemungutan suara dilakukan pada hari Rabutanggal 17 Maret 2021 tundah enam  bulan.

Opsi C, Pelaksanaan pemungutan suara dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 29 September 2021 tunda sekitar dua belas bulan.

Opsi ketiga menurut saya lebih relevan untuk penundaan selama dua belas bulan. Waktu pelaksanaan pemungutan suara ini telah diatur dalam Undang-Undang 10 Tahun 2016 pasal 201 ayat (6) bahwa pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020.

Dalam Perppu, selain hari pemungutan suara juga perlu didesain waktu Pemilihan serentak dimana dalam UU 10/2016 diatur pemilihan serentak nasional pada tahun 2024. Perlu diatur desain waktu pemilihan serentak secara nasional ini kompetibel dengan waku Pemilu serta desain kelembagaan penyelenggara pemilu.

  • Anggaran Pemilihan

Pendanaan dan sumber anggaran pemilihan serentak perlu diatur dalam Perppu ini. Beberapa opsi kiranya bisah menjadi pertimbangan yakni; Apsi A, sumber dana pemilihan berasal dari APBN. Opsi B, sumber dana pemilihan bersal dari APBN dapat pula berasal dari APBD sehingga opsinya bisa 60 persen APBN dan 40 persen APBD.

  • Pengaturan Pencalonan

Pencalonan, terutama terkait dengan pencalonan dari TNI, Polri, ASN, perlu diatur sebelum masa pencalonan. Paling tidak seorang ASN, TNI,Polri yang mencalonkan diri sebaiknya membuat pernyataan mengundurkan  diri enam buan sebelum hari pemungutan suara.

Agar kompetibel dengan Undang-Undang ASN dan kebijakan lainnya terhadap larangan ASN, TNI dan Polri selama proses pemilihan.

Selain itu diatur pula untuk Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota yang berlaku sama denga profesi ASN, TNI Polri.

  • Kampanye dan Dana Kampanye

Salah satu yang perlu diatur yakni terkait dengan pengaturan kampanye pasangan calon pada pemilihan. Sebaiknya kampanye tidak lagi dibiayai oleh negara akan tetapi dibiayai oleh pasangan calon.

Namun demikian, perlu pengaturan pembatasan terhadap jumlah dan desain Alat Peraga Kampanye, Bahan Kampanye, Iklan kampanye agar terwujud keadilan dan kesetaraan dalam kampanye.

Sumbangan dana Kampanye sebaiknya dibatasi untuk sumbangan pihak swasta maksimal 250 juta. Dengan mengatur  perolehan  sumbangan secara transparan dan auidit dana kampanye dilakukan oleh lembaga yang mengurusi pemeriksaan keuangan atau Komisi Pemberatasan Korupsi.

  • Sanksi Pemilihan

Beberapa yang perlu diatur dalam norma Pilkada yakni terkait dengan larangan memilih lebih dari satu kali, larangan memberikan keterangan palsu, larangan memberikan sogokan kepada pemilih atau pemilih menerima sogokan, larangan melakukan kekerasan dalam kampanye, kewajiban melaporkan dana kampanye.larangan melibatkan pejabat dalam kampanye.

Dalam Perppu ini, hal tersebut hendaknya diatur untuk  menentukan norma norma tersebut perlu diperkuat dengan sanksi pidana, sanksi adminsitratif atau sanksi etik.

Pengaturan Perppu diharapkan terjadinya efisensi dan efektifitas pelaksanaan pilkada serentak lanjutan.

Selain pilkada mewujudkan penguatan terhadap sistem pemerintahan presidensial tetapi juga diharapkan Perppu bisa mengatur manajemen pilkada yang menciptakan demokrasi yang berkeadaban.

Dari segi hasil pilkada diharapkan menciptakan pemerintahan daerah yang solid dan efektif serta mewujudkan demokrasi dan politik lokal yang harmoni.

*Penulis adalah Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah Periode 2018-2023