OLEH: Indar Ismail Jamaluddin*

Di awal tahun baru, Tiongkok dikagetkan dengan penyakit baru. Secara resmi namanya coronavirus disease (Covid). Nama lengkapnya menjadiCovid-19, mengingat kasus pertama diketahui pada 31 Desember 2019, lalu terus meningkat dalam hitungan hari.

Awalnya, media massa nasional menyebut virus korona ditemukan di kota Wuhan, Provinsi Hubei,  China, dari pekerja  medis yang terpapar, dan dengan cepat menyeberang ke Jepang, semenanjung Korea, Iran, daratan Eropa, Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, Australia, dan Amerika Serikat.

Untuk mengatasinya, Tiongkok mengambil langkah taktis dan disiplin. Pemerintah Tirai Bambu mengebut pendirian rumah sakit khusus, menyiagakan petugas kesehatan dan keamanan, serta mengisolasi sejumlah kota.

Di pusat Beijing, tidak ada perayaan Imlek.  Aparat  mengusir warga yang lalu lalang. Memanfaatkan teknologi, setiap saat warga dikontrol kesehatannya.

Alhamdulillah, pekan kedua Maret, Tiongkok menyatakan berhasil menaggulangi virus ini. Langkah ketat Tiongkok diikuti negara lain, seperti Italia –walaupun awalnya mengalami kendala dari kebiasaan rakyatnya—Malaysia, dan Filipina. Indonesia juga belajar dengan mengimpor obat-obatan dari Tiongkok.

Sementara itu, per Rabu (25/3/2020), warga dunia yang terinfeksi Covid-2019 mencapai 442.829 dan menyebar hingga ke 197 negara (Kompas.com edisi Rabu, 25/3/2020).  Walaupun sebanyak 18.907 penderita meninggal dunia, kabar baiknya, ada  109.102 penderita yang sembuh.

Ini berarti virus yang menyerang imunitas tubuh ini dapat diantisipasi.

FUNGSI PEMERINTAH

Karena penularan virus ini lambat laun kian mengkhawatirkan, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk tidak bertindak melindungi rakyatnya.

Mc Iver (The Web of Goverment, 1985) secara garis besar mengingatkan jika pemerintahan sebagai sistem pengetahuan yang membimbing pembuat undang-undang menghadapi perubahan yang responsif dalam lingkungan sosial.

Perlindungan negara terhadap rakyat dalam menghadapi perubahan adalah kata kunci melihat bagaimana kinerja pemerintah, termasuk pemerintah daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah antara lain memiliki tugas memelihara ketenteraman dan ketertiban, plus kewenangan lain seperti mengambil tindakan tertentu yang mendesak (Pasal 65 ayat 2).

Fungsi kepala daerah di kabupaten/kota bahkan bisa diperkuat oleh kontrol gubernur  sebagai wakil pemerintah pusat (PP 33/2018).

Mengingat penanganan Covid-19 saat ini sudah sangat mendesak, maka pemerintah pusat juga menunggu partisipasi pemerintah daerah melalui kebijakan-kebijakan kepala daerah didukung DPRD. Apalagi pada 14 Maret 2020, Pemerintah telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional non alam.

RESPONS PEMDA

Dengan kondisi geografis Indonesia yang luas, tentu tidak adil manakala tugas penanggulangan di daerah sepenuhnya dibebankan ke pemerintah pusat. Berikut ini, ada sejumlah kondisi faktual yang menarik menjadi bahan diskusi sekaitan dengan respons Pemda atas Covid-19.

Pertama, perhatian terhadap pintu keluar masuk daerah, baik itu pelabuhan laut, perbatasan darat, maupun bandara.

Dalam dua bulan terakhir, pemerintah, terutama pemerintah pusat, ‘terlalu’ mengandalkan kamera pemantau suhu tubuh yang dipasang di bandara—sejak Covid-19 menyerang dunia pada awal tahun, hanya bandara besar yang siaga dengan taktik ini.

Padahal, akses hilir mudik pendatang juga melalui bandara perintis, jalur darat, dan pelabuhan. Daerah   seolah gagap melakukan antisipasi di pintu perbatasan lalu lintas orang dan barang. 

Kedua, kawasan strategis nasional yang ada di daerah memiliki pekerja asing yang rentan keluar masuk dan menularkan penyakit bersumber virus. Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park misalnya, memiliki pengawas dan pekerja teknis terampil yang berasal dari luar negeri. Ada 3.121 pekerja asing, dan 25.447 pekerja lokal di sana (CNN Indonesia, 8/8/2018).   

Ketiga, perlindungan terhadap pekerja rentan. Pekerja medis contoh nyata dalam kategori ini. Baru saja kita mengetahui informasi adanya perawat yang dipaksa menginap di rumah sakit lantaran ia merawat pasien terpapar, karena pemilik rumah kabarnya takut terpapar.

Tidak menutup kemungkinan kasus serupa berpotensi terjadi di sini. Tentunya, dalam kondisi ekstrim di mana peran tenaga medis sangat tinggi, dibutuhkan kebijakan pemda terkait nasib mereka, termasuk yang berstatus honorer atau pegawai tidak tetap.

Keempat, awal Maret lalu, masker yang biasanya tersedia di apotik langka di pasaran. Kalaupun ada, harganya berkali lipat. Jikapun tersedia, dijual ecer. Padahal, masker—bersama hand sanitizer–merupakan salah satu senjata yang digadang-gadang membantu mencegah masuknya virus.

Pertanyaannya, agar tak seperti kasus masker, apa kebijakan pemda dalam mengendalikan ketersediaan barang-barang kebutuhan pokok (terutama makanan dan minuman) agar tidak hilang di pasaran lantaran kepanikan akibat Covid-19?

Kelima, sektor swasta dan pekerja informal. Pemerintah melalui gugus tugas penanggulangan Covid-19 tak bosan-bosannya  mengajak warga terlibat: berdiam diri di rumah, menggunakan masker bagi yang sakit, hidup sehat, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak jika harus meninggalkan rumah.

Pemerintah daerah pun menindaklanjuti hal ini. Melalui Surat Edaran Nomor 443/141/DIS.KES tentang Pencegahan dan Antisipasi Penyebaran Covid-19 di Sulawesi Tengah tertanggal 16 Maret 2020, Gubernur Sulawesi Tengah antara lain meminta bupati/wali kota meliburkan Paud, TK, SD dan SMP/sederajat serta melarang ASN melakukan perjalanan luar negeri dan daerah terjangkit.

Pada hari yang sama, Walikota Palu menerbitkan edaran, antara lain imbauan pelaksanaan belajar daring bagi siswa, namun ASN (termasuk guru) harus tetap masuk kantor, serta membatasi kegiatan indoor dan outdoor yang dilaksanakan pemda. Publik masih menunggu secara eksplisit perhatian pemda terhadap pekerja sektor swasta atau informal.

Kita tahu, sektor swasta dan informal menuntut mobilitas tinggi bagi pekerjanya, sehingga dibutuhkan protokol tersendiri bagi mereka dalam kondisi seperti saat ini.

SEBUAH PELAJARAN

Belajar dari bencana alam dan Covid-19, penting bagi kepala daerah memberi porsi anggaran terhadap pencegahan dan penanggulangan bencana alam dan non alam (terkhusus penyakit menular), dimulai dari Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) sebagai acuan dalam penyusunan APBD.

Perlakuan kepala daerah terhadap sektor ini agar mendapat titik perhatian publik sejak masa kampanye calon kepala daerah, untuk kemudian menjadi visi dan rencana program pembangunan, baik jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek bagi calon terpilih.

Tidak ada salahnya kalau kepala daerah dan DPRD menetapkan peraturan daerah tentang pencegahan dan penanggulangan penyakit menular, bahkan untuk kasus ekstrim yang bisa melumpuhkan perputaran ekonomi daerah.

Lemahnya politik anggaran di daerah membuat penanggulangan baru dilakukan saat kasus ditemukan.  Untuk urusan HIV/AIDS misalnya, walau sudah mengandalkan masyarakat dalam Koalisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA), pemerintah daerah masih harus berjibaku dengan urusan biaya kampanye dan program yang sifatnya kuratif, seperti pembelian obat ARV.

Anggarannya pun terbatas.  Hemat penulis, membantu menyumbang  saran atas masalah ini lebih konkret daripada membicarakan kapan lagi ada pawang yang bisa menggiring buaya berkalung ban menepi di sungai (karona) Palu.

*Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik