OLEH : Habib Alwi Aljufri*
Sirah perjalanan Nabi Nuh adalah penggalan tentang kisah kengerian luar biasa. Terutama, ketika Allah membinasakan orang-orang kafir melalui alam yang sangat ganas. Langit menumpahkan bermiliar kubik air. Deras, dan sangat deras. Bahkan air juga memuncrat hebat dari dalam tanah. Tidak hanya itu, bahkan disertai topan yang sangat kencang. Tiba-tiba bumi berubah menjadi hamparan samudera yang luas. Segalanya begitu mencekam.
Di tengah gelombang yang bergulung-gulung setinggi gunung, bahtera Nabi Nuh berlayar. Dari atas kapal, Nabi Nuh mencoba memanggil Qan’an, anaknya yang memencil jauh. Agaria mau beriman dan ikut bersama di atas kapal.
“Anakku, naiklah ke kapal bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir,” panggil Nabi Nuh dengan penuh kasih. “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” sahut anaknya.
‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang,” kata Nabi Nuh, mencoba meyakinkan anaknya. Tetapi Qan’an tetap pada pendiriannya. “Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang ditenggelamkan.” (QS. Hud: 43).
Gelombang yang ganas bisa bersahabat dengan Nabi Nuh dan orang-orang beriman. Tetapi ia menjadi adzab bagi yang tak beriman. Gunung yang menjulang tak peduli dengan nasib Qan’an dan orang-orang kafir lainnya.
Rahasianya adalah karena gelombang dan gunung itu sama-sama tentara Alah. Bahkan laut, hujan, angin topan, binatang buas, burung, hingga serangga kecil yang lambat adalah tentara Allah yangsangat perkasa. “Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4). Para tentara patuh kepada Allah, bersahabat dengan orang-orang yang beriman, dan membenci orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
Simaklah Al-Qur’an. Kita bisa bahwa alam semesta tidak saja tentang keindahan dan keselarasan. Tetapi pada saat yang sama, Al-Qur’an juga menjabarkan bagaimana alam menampakkan kehebatannya sebagai tentara Allah. Seperti bagaimana Allah menghukum Fir’aun dan kaumnya. “Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.” (Al-A’raf: 133). Para ahli tafsir menjelaskan, bahwa mengi¬rim mereka darah, maksudnya air minum mereka berubah menjadi darah.
Peradaban di zaman apapun selalu menjadikan alam sebagai mitranya. Bahkan sebagian masyarakat menyembah dewa-dewa yang diyakini menguasai alam. Memang, dalam pandangan aqidah Islam menuhankan alam adalah salah. Namun setidaknya, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara Tuhan, fitrah manusia dan alam.
Apa yang dilakukan peradaban Barat jauh lebih buruk. Ketika mereka memulai zaman imperialisme dan kolonialisme, mereka mengekploitasi segala sumber alam secara besar-besaran dan nyaris tak beradab. Mereka yang menganggap dirinya orang-orang modern ternyata lebih primitif dalam memandang alam. Mereka memandang alam semata-mata obyek, yang bisa semaunya dieksploitasi, dijajah, diaduk-aduk sesuai seleranya.
Memahami alam tidak akan pernah utuh tanpa mendudukkan eksistensinya sebagai tentara Allah. Dalam sejarah orang-orang shalih, banyak kita temukan fakta bagaimana alam tunduk kepada perintah Allah untuk membela orang-orang yang beriman. Seperti api yang diperintah Allah untuk berubah dingin, ketika digunakan raja Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim. Atau Laut Merah, yang diperintah Allah untuk mengubah karakter¬nya, menjadi hamparan jalan yang nyaman bagi Nabi Musa dan Para pengikutnya.
Melalui tentara-Nya, Allah berkuasa melin¬dungi hamba-hamba-Nya yang mukmin dan memenangkan mereka atas orang-orang kafir. Allah berjanji akan membela orang-orang yang beriman. Janji itu berlaku sepanjang masa. Dan, Allah tidak pernah menyalahi janjinya. Sedang tentara Allah sendiri tidak terbatas jenis dan jumlahnya. “Dan tidak ada yang menge¬tahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatsir: 31). Maka perlakukanlah alam sesuai Tuntunan-Nya. Wallahul Mustaan
***
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.