Bungku – Banjir seakan menjadi bencana langganan  tahunan kabupaten Morowali . Yang paling gress sepanjang tiga hari belakangan ini banjir menerjang kabupaten yang mulai gersang ini memporak prandakan infrastruktur.

Amukan banjir mempatah patakan jembatan dan menggulung jalan jalan. Para pemudik dan penggunan jalan lainnya terpaksa menepi  seharian  menunggu parbaikan jembatan ambruk.   Ini tentu mengancam keselamatan masyarakat kebanyakan di wilayah timur Sulawesi Tengah itu.

Lantaran itulah  Jaringan Advokasi Tambang, (JATAM) Sulteng,  mendesak pemerintah agar segera melakukan evaluasi tambang secara serius dan terbuka.

Jatam menilai  selama ini  pemerintah tidak serius dalam penanganan tambang. Hal ini terlihat tidak adanya  laporan secara berkala kepada publik, izin apa saja perusahaan yang dicabut dan perusahaan apa saja yang baru diberikan izin.

“Kami menilai penyebab semua banjir di Kabupaten Morowali, karena ada aktifitas pertambangan dihulu Sungai” Kata Direktur Eksekutif Jatam Sulteng  Syahrudin  Ariestal Douw, ahad kemarin di Palu.

Dia mengatakan  mengatakan ada tiga hal penyebab banjir disejumlah daerah di Morowali. Pertama kata dia, industri tambang adalah penyebab utama banjir di Morowali.

Kemudian kedua kata dia,  pemerintah lalai melihat keselamatan lingkungan, akibatnya izin dikeluarkan melebihi daya dukung lingkungan.

Selanjutnya kata dia , banjir adalah pintu masuk bagi institusi penegak hukum untuk melakukan penindakan perusahaan tambang serta melakukan evaluasi agar perizinan yang jumlah masih diangka seratusan itu di Kabupaten Morowali menjadi tinggal dua  atau tiga izin saja.

Syahrudin menyatakakan pihaknya  dan kelompok pegiat  lingkungan lain  tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam evaluasi, sehingga alat ukur evaluasi tidak transparan.

Dia menambahkan, pemerintah jangan hanya mengejar pendapata asli daerah (PAD) , tanpa memperhatikan aspek lingkungan. Kalau logikanya kejar PAD. Kata dia, jual saja daerah ini pada investasi. Tapi bila tujuan kita adalah kesejahteraan dan keselamatan hidup rakyat, maka harus lakukan evaluasi.

“Baik dari aspek lingkungan, kelayakan dan aspek administrasi pertambangan sudah cukup menghadang banjir musiman ini,” jelasnya.

Dalam tarikan nafas yang sama disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah menyebut banjir yang terjadi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, ada kaitannya dengan menurunnya daya dukung lingkungan.

“Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah yang masif melakukan eksploitasi sumber daya alam berbasis lahan,” ucap Manager Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Sulawesi Tengah, Stevandi, di Palu, Ahad kemarin

Eksploitasi SDA berbasis lahan itu, tentu di ikutkan dengan praktek pembabatan hutan yang kemudian berdampak terjadinya deforestasi hutan (perubahan lahan hutan menjadi non-hutan).

Praktek tersebut, dinilai oleh Walhi Sulteng, memberikan kontribusi besar terhadap penurunan daya dukung atau kualitas lingkungan, yang memberikan dampak terjadinya erosi dan banjir.Dalam catatan Walhi, tercatat 189 Izin Usaha Pertambangan yang terbit di Morowali pada tahun 2012.

“Dampak dari buruknya lingkungan yang terjadi saat ini, merupakan hasil dari kebijakan pemerintah daerah,” ucap Stevandi.

Menurut Walhi Sulteng, mestinya pemerintah daerah sebelum mengeluarkan kebijakan, harus benar-benar mempertimbangkan aspek lingkungan, agar tidak terjadi dampak dari buruknya lingkungan, seperti banjir yang terjadi saat ini.

Data Walhi Sulteng menyebutkan bahwa terdapat sekitar 6.000 hektare lahan yang dapat di katakan kritis, di Kabupaten Morowali.

“Ini data awal berdasarkan pencitraan satelit. Kami akan investigasi lebih mendalam untuk konkritkan data 6.000 lahan kritis di Morowali,” ujar dia. (Ikram)