PALU – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Sulteng menilai adanya kendala yang ditemui sejumlah pihak yang sedang memperjuangkan pengakuan wilayah adat dari wilayah-wilayah konsesi.

Salah satu daerah di Sulteng yang tengah memperjuangkan pengakuan tersebut adalah Kabupaten Sigi. Pemkab bersama masyarakat adat tengah berjuang untuk memperoleh pengakuan wilayah adat yang sebagian besarnya sedang dikuasai negara, dalam hal ini Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).

Padahal, sekaitan dengan pengakuan tersebut, Mahkamah Konstitusi sendiri telah mengelaurkan keputusan terkait itu.

“Sebenarnya kendalanya itu di implementasi. Memang di Pemda masih punya problem, tapi ini bukan berarti tidak ada kendala di level nasional. Karena sebenarnya, Kementerian Kehutanan juga tidak bekerja maksimal mengeksekusi putusan MK Nomor 35 itu,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, Abdul Haris, pekan lalu.

Menurutnya, telah banyak dikeluarkan kemudahan-kemudahan regulasi dan mendorong Pemda untuk segera melakukan proses administrasi dan proses pengukuran wilayah adat tersebut.

“Tapi kan keputusannya itu ada di Kementerian Kehutanan. Di level kementerian belum mengambil keputusan terhadap pengakuan wilayah adat, karena itu kan harus dikeluarkan dulu dari kawasan hutan. Sementara taman nasional, mereka tidak mau lahannya berkurang untuk diserahkan kepada rakyat. Ini kan sebenarnya ada perlawanan terhadap keputusan itu,” ungkapnya.

Dia menegaskan, sudah menjadi mandat bagi semua pemerintah daerah untuk mengeksekusi atau memastikan bahwa perlindungan masyarakat adat itu sudah terjadi di wilayahnya.

“Tapi itu memang tidak mudah dilakukan karena di internal pemerintahan sendiri masih menggunakan paradigma lama, di mana hutan maupun lahan itu dikuasai hanya untuk konsesi-konsesi. Ini memang menjadi tantangan besar bagi pemda untuk menyegerakan pengakuan terhadap masyarakat adat. Ini bukan tawar menawar lagi tetapi menjadi suatu kewajiban,” tegasnya.

Dia juga menyentil sepak terjang Kementerian Kehutanan yang dalam beberapa kesempatan, inkonsistensinya itu sangat dipertanyakan

Kalau kita menghubungkan dengan kasus yang lain misalnya Hardaya Inti Plantation (HIP) di Buol, itu justru cepat sekali dia lepaskan, padahal ada moratorium sawit di sana,” ujarnya.

Dia pun menilai masih adanya marginalisasi kepada kelompok-kelompok yang sejauh ini masih terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan, baik dari negara maupun dari pihak perusahaan.

Tak hanya dari sisi wilayah adat, Haris sendiri mengungkap masih banyaknya sengketa pengelolaan SDA di wilayah Provinsi Sulteng.

Dia mencontohkan kasus yang terjadi di wilayah Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala yang dari tahun 2007 sampe 2019 ini, petani berkonflik terus dengan PT Mamuang karena penggunaan lahan yang tidak jelas alas haknya.

“Jadi kan konflik yang bisa kita lihat terus menerus, baik antara petani dengan pemerintah maupun petani dengan perusahaan,” imbuhnya. (RIFAY)