PALU – Mahasiswa  Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tadulako (Untad) Palu, Neny Setyawati A. Kotae (penggugat), melalui  Lembaga Pengembangan Studi dan Hak Asasi Manusia (LPS- HAM) Sulawesi Tengah, mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) kepada Rektor Untad, Prof. Muhammad Basir ke Pengadilan Negeri (PN) Palu, Rabu (26/9).

Selain Rektor, dugatan itu ditujukan kepada Wakil Rektor Bidang Akademik Prof. Sutarman Yodo, Dekan FKIP Dr  Lukman, Kepala BKAP Untad Rudy Gosal, serta turut tergugat Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Prof. Mohamad Nasir.

Neny Setyawati melalui kuasa hukumnya, Adi Prianto di Palu, Kamis (27/9) mengatakan dasar dan fakta gugatan yang diajukan, bahwa klienya adalah mahasiswi yang cukup terbilang aktif dalam mengeluarkan pendapat, mengenai kebijakan kampus yang bertentangan dan tidak memenuhi hak-hak  mahasiswa Untad.

Kata dia, klienya pernah membuat usulan dan mengritik kebijakan kampus, soal pusat pengembangan Deradikalisasi dan penguatan sosio akademik (Pusbang DEPSA).  Dalam kritikanya, Depsa sebaiknya diganti dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pancasila, bertujuan untuk menjunjung tinggi asas manfaat.

“Bahwa ketika klienya pergi Ke BNI Cabang Palu, dengan tujuan untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) semester ganjil tahun ajaran 2018/2019, nama klienya  tidak terdaftar dalam sistem pembayaran,” kata  Adi Prianto didampingi Abdul Mirsaid  Buimin.

Dia mengatakan, setelah kembali ke kampus Untad, klienya menghadap Biro Akademik Kemahasiswaan dan Perencanaan (BAKP)  guna  menanyakan hal tersebut. Namun, menurut salah seorang operator di BAKP, kata dia, nama klienya telah dikenakan sanksi/skorsing, sehingga diblokir dalam SIAKAD (sistim akademik) secara online.

Pemblokiran yang dilakukan dalam sistim siakad adalah intruksi langsung dari Rektor Untad.

Untuk membuka kembali blokir atas nama klienya dalam sistim Siakad, harus atas rekomendasi dari Rektor Untad. Pemblokiran SIAKAD  adalah cara baru yang bertujuan memberikan sanksi/skorsing bagi mahasiswa.

Menurut Adi, pemblokiran nama klienya yang dilakukan oleh Rektor, merupakan tindakan yang melampau batas kewenangan dan tidak menunjukan sikap serta perilaku pimpinan, mengabaikan nilai-nilai dasar yang tidak  peduli atau menyadari dan tidak memahami serta memperhatikan kebutuhan dan kepentingan pihak lain.

Pemblokiran oleh Rektor kata dia, tidak berdasarkan surat keputusan sanksi/skorsing dari pihak rektorat, sehingga status klienya tidak diketahui. Klienya tidak menerima surat skorsing/sanksi, yang dikeluaran oleh pihak kampus.

“Namun pada dasarnya, nama klienya tidak tercantum dalam Siakad online, sehingga tidak lagi dapat melanjutkan pengisian kartu rencana studi (KRS),” ujarnya.

Dia menambahkan, pemblokiran nama klienya  sebagai sanksi/skorsing yang dilakukan telah membatasi dan mengekang hak-hak klienya  untuk dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik, jelas adalah suatu upaya perbuatan melawan hukum.

“Akibat dari perbuatan melawan hukum itu, klienya mengalami kerugian materil  Rp4,8 juta dan kerugian immaterial  Rp500 juta,” katanya.

Untuk itu, pihaknya memohon pengadilan agar mengabulkan gugatan untuk seluruhnya, menyatakan perbuatan tergugat  adalah perbuatan melawan hokum, memerintahkan para tergugat  meminta maaf kepada klienya melalui tujuh media cetak dan elektronik lokal, selama tujuh hari berturut-turut.

Selain itu, menyatakan klienya sah sebagai mahasiswa  terdaftar sejak tahun ajaran 2013-2014 hingga semester ganjil tahun ajaran 2018-2019. Memerintahkan  tergugat membuka blokir pada website untad.ac.id, untuk pengisian KRS secara online, pada semester ganjil 2017-2018 dan skorsing secara tidak tertulis kepada klienya tidak dapat berlaku.

“Bismillah,” kata Rektor Untad Prof. Muhammad Basir melalui pesan singkatnya. (IKRAM)