PALU- Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) menemukan zona larangan penambangan (No Minning Zone) pada muara sungai Taipa dan Muara Sungai Tawaili di Teluk Palu sebagai jalur transit burung migrasi.

Jenis – jenis burung migrasi
ditemukan di Teluk Palu terutama pada muara Taipa : kuntul karang (Egretta sacra), Kuntul Kecil (Egretta garzetta), Dara-Laut Kecil (Sternula albifrons), Cerek Pasir Besar (Anarhynchus leschenaultii), Cerek Tilil (Anarhynchus alexandrinus), Gajahan Penggala (Numenius phaeopus), Trinil Ekor Kerbau (Heteroscelus brevipes).

Direktur Yayasan KOMIU Gifvents menuturkan, keberadaan burung migrasi dan burung Pantai tersebut menegaskan bahwa Teluk Palu tidak hanya berperan sebagai habitat lokal, tetapi juga sebagai habitat singgah, wilayah jelajah harian, serta koridor migrasi penting dalam jaringan pergerakan burung pada skala regional.

Fungsi tersebut kata dia, didukung oleh keterkaitan antar habitat, dimana muara sungai, pantai berlumpur, pantai berpasir, serta lahan basah saling melengkapi dan membentuk satu kesatuan ekosistem utuh dalam menyediakan pakan, tempat beristirahat, serta ruang aman bagi burung – burung tersebut.

Olehnya kata dia, kerusakan atau degradasi pada salah satu tipe habitat khususnya pada muara sungai, berpotensi menimbulkan dampak langsung terhadap keberlangsungan rantai migrasi burung air dan burung pantai, sekaligus menurunkan fungsi ekologis Teluk Palu secara keseluruhan.

Dia menyebutkan, merujuk geoportal ESDM Desember 2025, sebaran izin pertambangan batuan  diteluk palu mencapai 109 yang terbagi 56 berstatus operasi produksi   2 Explorasi dan 51 wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) yang sifatnya pencadangan.

” Reklamasi pembangunan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) atau Jetty pertambangan batuan pada mayoritas muara sungai diteluk palu tentu memberi pengaruh langsung pada hilangnya jalur transit burung migrasi,” katanya.

Ia menjelaskan, dari peta sebaran izin usaha pertambangan, saat ini hanya tersisa muara sungai Taipa dan sungai Tawaili belum beralih fungsi menjadi TUKS atau Jetty, sehingga penting untuk membebaskan muara tersebut dari aktivitas penambangan dengan menetapkannya menjadi No Minning Zone di Teluk Palu dengan mengintegraikannya kedalam tata ruang Kota Palu maupun tata ruang Provinsi Sulawesi Tengah.

Lebih lanjut kata dia, teluk Palu merupakan teluk relatif semi tertutup dan mendapatkan pasokan air dari berbagai aliran sungai, sehingga di teluk ini membentuk zona peralihan muara pesisir kaya akan nutrient, lumpur/pasir, dan merupakan Lokasi produktif.

” Secara ekologis, teluk Palu menjadi penting karena menyediakan kebutuhan burung air dan burung Pantai berupa perairan dangkal sebagai tempat untuk mencari makan, serta vegetasi mangrove dan Semak pesisir, digunakan sebagai tempat untuk berlindung dan beristirahat,” ujarnya.

Lanjut kata dia, fungsi tersebut membuat Kawasan muara termasuk muara Taipa dapat berperan menjadi stopover site (Lokasi singgah) dapat membantu burung migran untuk memulihkan energi sebelum melanjutkan perjalanan jauh.

Dalam Tingkat Kawasan, sebut dia, Indonesia berada dalam lintasan jalur migrasi burung air Asia – Australia, dan jejaring lahan basah di sepanjang jalur ini diakui sebagai penopang konektivitas migrasi.

Muara Taipa menjadi penting karena merupakan habitat pesisir ramah burung, area transisi dari air tawar ke payau yang kaya organisme pakan berupa ikan kecil, udang-udangan, moluska, dan cacing laut, serta menyediakan tempat untuk beristirahat relatif aman.

Namun, kata dia, ketika muara tersebut terfragmentasi atau menurun kualitasnya, dapat berdampak pada burung migran, kehilangan tempat singgah dan beresiko kelelahan, kondisi tubuh menurun, serta kegagalan migrasi burung.

“Ancaman utama bagi jalur transit burung migrasi di Teluk Palu umumnya berpusat pada kehilangan atau penurunan kualitas habitat di muara dan pesisir, terutama terdapat pada area pasang-surut dan ekosistem mangrove,” tuturnya.

Pembangunan di wilayah pesisir berupa penataan Kawasan serta aktivitas yang dapat mengubah garis Pantai, kata dia, dapat mengurangi area mencari makan bagi burung migrasi, mengubah dinamika sedimen, serta dapat menghilangkan tempat berlindung bagi burung migrasi.

“Perencanaan dan kajian lingkungan terkait pesisir Teluk Palu menunjukkan adanya aktivitas perlindungan pantai dan reklamasi pada segmen teluk pantai berpotensi menambah tekanan pada habitat pesisir bila tidak dikelola secara basis biodiversitas,” paparnya.

Gangguan berupa lalu Lalang tongkang material tambang batuan atau galian C juga merupakan faktor memiliki dampak kuat, aktivitas manusia di garis Pantai, serta kebisingan dan penerangan pada malam hari dapat membuat burung migrasi sering terbang menghabiskan energi dan menjauh dari Lokasi pakan serta tidak dapat beristirahat.

Pada skala jalur migrasi, beberapa studi menegaskan bahwa kerusakan habitat stopover berkaitan dengan penurunan populasi burung migran. Ini berarti ada tekanan lokal di Teluk Palu yang dapat berkontribusi pada masalah lebih besar di Tingkat jalur terbang burung migrasi.

Ancaman lain yang relevan di kawasan muara adalah, pencemaran berupa limbah domestik atau perkotaan yang dapat menurunkan kualitas air dan rantai pakan burung migran, serta degradasi mangrove yang mengurangi fungsi tempat berlindung.

Adanya upaya rehabilitasi penanaman mangrove yang dilakukan di teluk Palu dapat menekan degradasi tersebut, namun di saat yang sama tekanan terhadap pemanfaatan ruang pesisir perlu dikendalikan agar fungsi ekologis muara sebagai habitat singgah burung migran tidak menyusut bahkan hilang.