PALU – Yayasan Advokasi Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulawesi Tengah (Sulteng) melontarkan kecaman keras terhadap pemerintah daerah dan aparat kepolisian yang dinilai abai terhadap maraknya aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di kawasan Poboya, Kota Palu.

Aktivitas ilegal tersebut terus menelan korban jiwa dan oleh YAMMI menyebut bahwa  Poboya telah menjadi “ladang maut” bagi rakyat kecil.

Ketua YAMMI Sulawesi Tengah, Africhal Khamane’i, menegaskan, rangkaian kecelakaan kerja hingga kecelakaan lalu lintas di jalur PETI Poboya merupakan tragedi kemanusiaan yang seharusnya dapat dicegah apabila negara hadir dan bertindak tegas.

“Setiap korban yang jatuh adalah bukti nyata kegagalan negara melindungi warganya. PETI Poboya dibiarkan beroperasi tanpa izin, tanpa standar keselamatan, dan tanpa pengawasan, sementara nyawa rakyat kecil terus melayang,” tegas Africhal.

Menjelang perayaan Natal, kabar duka kembali datang dari kawasan PETI Poboya. Pada Kamis, 25 Desember 2025, seorang pengemudi truk pengangkut bahan galian dilaporkan meninggal dunia akibat kecelakaan fatal di jalur tambang ilegal tersebut.

Insiden ini menambah panjang daftar korban sepanjang tahun 2025.

YAMMI menilai, pembiaran terhadap PETI Poboya mencerminkan lemahnya fungsi pengawasan pemerintah daerah dan tidak tegasnya penegakan hukum oleh aparat kepolisian.

Menurut Africhal, kondisi ini menimbulkan dugaan kuat adanya kepentingan ekonomi tertentu yang membuat aktivitas tambang ilegal tersebut terus berlangsung.

Atas kondisi tersebut, YAMMI Sulawesi Tengah mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera mengambil langkah tegas, yakni menghentikan seluruh aktivitas PETI Poboya dan menutup lokasi secara total, menegakkan hukum dengan menangkap serta memproses seluruh pihak yang terlibat, terutama pemodal dan backing, serta menginvestigasi dugaan pembiaran sistematis, termasuk kemungkinan keterlibatan oknum aparat.

“Sudah berapa banyak lagi nyawa yang harus melayang sebelum negara benar-benar hadir? YAMMI tidak akan diam dan akan terus memantau serta menempuh langkah hukum jika pembiaran ini terus terjadi,” tegas Africhal

Sepanjang tahun ini, YAMMI mencatat sejumlah tragedi serius di kawasan PETI Poboya.

Pada 3 Juni 2025, dua pekerja tambang tewas tertimbun longsor di lokasi Kijang 30. Salah satu korban berasal dari Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, sementara korban lainnya merupakan warga Provinsi Gorontalo.

Kepolisian Resor Kota Palu mengonfirmasi kedua korban tertimpa material longsoran batu saat berada di bagian bawah area tambang.

Tragedi kembali terjadi pada 8 Oktober 2025, ketika Herman (39), warga Kabupaten Pinrang, meninggal dunia akibat tertimbun longsor saat memuat material ke truk di wilayah Vavolapo.

Korban mengalami luka robek di kepala dan nyeri di bagian dada, namun nyawanya tidak tertolong meski sempat dilarikan ke rumah sakit.

Selain kecelakaan tambang, jalur menuju PETI Poboya juga kerap memakan korban. Medan jalan yang curam, penerangan minim, serta lubang galian yang tidak stabil menjadikan jalur tersebut sangat berbahaya.

Pada Oktober 2025, sebuah truk terperosok ke lubang galian di Vavolapo dan menyebabkan pengemudinya mengalami luka ringan.

Pada 28 November 2025, RS Sindhu Trisno Palu merawat seorang pria tanpa identitas yang ditemukan setengah sadar akibat kecelakaan di kawasan PETI Poboya.

Selanjutnya, pada 9 Desember 2025, sebuah dump truck terbalik di jalur penanjakan Vavolapo akibat jalan licin karena hujan, menyebabkan pengemudi luka-luka.

Dua hari kemudian, 11 Desember 2025, dump truck kembali jatuh ke jurang sedalam sekitar 30 meter, diduga akibat rem blong. Pengemudi berinisial SB, warga Kabupaten Sigi, mengalami luka-luka.

Seluruh peristiwa tersebut terjadi di kawasan pertambangan ilegal yang berada dalam wilayah Kontrak Karya PT Citra Palu Minerals (CPM).

Aktivitas PETI dilakukan dengan metode heap leaching tanpa standar keselamatan kerja dan tanpa pengawasan negara.

Ratusan hingga ribuan truk dilaporkan hilir mudik setiap hari di jalur berbahaya tanpa protokol keselamatan yang memadai.