PALU – Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) menyatakan penolakan keras terhadap rencana ekspansi tambang galian C di wilayah Loli Oge, Loli Saluran, Loli Tasiburi, dan Loli Dondo, di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala.
Aktivitas pertambangan tersebut dinilai mengancam kelangsungan hidup masyarakat, khususnya perempuan dan anak serta merusak ekosistem hutan dan sumber-sumber air yang menjadi penopang utama kehidupan warga.
Sebagai organisasi yang berfokus pada keadilan gender, keadilan ekologis, perlindungan hak Perempuan dan anak serta Hak Asasi Manusia, Yayasan KPKP-ST menegaskan bahwa dampak pertambangan tidak bersifat netral gender.
Koordinator Wilayah KPKP-ST Kabupaten Donggala Firdayanti, mengatakan, perempuan di kawasan Loli menanggung beban paling besar akibat kerusakan lingkungan.
Kata dia, lebih dari 80 persen perempuan di Kecamatan Banawa menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perikanan subsisten. Kebun campur yang mereka kelola berisi tanaman jagung, pisang, kapuk, sirsak, dan tanaman pangan lainnya terancam rusak akibat sedimentasi, pencemaran air, dan degradasi lahan.
Lebih lanjut ia mengatakan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 sebagai turunan dari Undang-Undang Mineral dan Batubara, kewenangan perizinan dan pengawasan tambang galian C berada di tangan pemerintah provinsi.
“Oleh karena itu, KPKP-ST mendesak Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah untuk menghentikan seluruh rencana dan aktivitas ekspansi tambang galian C di kawasan Loli serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin pertambangan yang telah dikeluarkan,” tegasnya, Selasa (23/12).
Menurutnya, pertambangan menjadi ancaman serius terhadap ekosistem hutan, sumber air dan keberlanjutan hidup masyarakat khususnya generasi mendatang.
“Negara tidak boleh bersembunyi di balik izin. Jika izin tambang menghancurkan kehidupan perempuan, maka izin itu adalah bentuk kekerasan”, ungkapnya.
Lanjut dia, ancaman ekologis tersebut jelas berdampak langsung pada kesehatan masyarakat. Polusi udara dari aktivitas tambang berpotensi meningkatkan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), sementara pencemaran tanah dan air akan menurunkan kualitas pangan dan sumber air bersih.
Sementara yang paling membutuhkan air bersih adalah perempuan dan remaja perempuan terkait dengan kesehatan reproduksi.
“Kerusakan ini bersifat jangka panjang dan berpotensi memicu bencana ekologis yang memperparah kerentanan sosial ekonomi masyarakat pesisir dan pedesaan,” pungkasnya.
Senada dengan itu, Koordinator Devisi Pengorganisasian Perempuan KPKP-ST, Neny Setyawati, menyoroti dampak sosial yang serius, terutama terhadap perempuan dan anak perempuan.
Ia mengungkap pengalaman di banyak wilayah, di mana kehadiran aktivitas pertambangan kerap diikuti dengan meningkatnya kerentanan sosial, tindak kekerasan berbasigender, termasuk risiko eksploitasi seksual, prostitusi anak, serta penyebaran penyakit menular seksual serta hancurnya relasi sosial komunitas.
“Kondisi ini memperdalam ketimpangan gender dan menempatkan perempuan pada posisi yang semakin tidak aman, baik secara ekonomi, sosial, maupun kesehatan dan ini adalah kekerasan struktural berbasis gender,” katanya.
Kata dia, lawasan Loli selama ini menjadi penopang kehidupan warga melalui pertanian dan perikanan subsisten. Perempuan berperan penting dalam pengelolaan kebun campur dan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.
“Ketika tambang masuk, yang pertama terdampak adalah air, tanah, dan kesehatan. Beban itu paling besar ditanggung perempuan,” ujarnya.
Bagi perempuan Loli, kata dia, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan sumber kehidupan, ruang pengasuhan, dan basis keberlanjutan generasi.
Ketika tambang masuk, yang dirampas bukan hanya tanah dan air, tetapi juga tubuh, kesehatan, martabat, dan masa depan perempuan. Debu tambang meracuni udara, sedimentasi mencemari air, dan kehancuran ekologi memiskinkan perempuan secara sistematis
“Tambang bukan pembangunan, tapi Tambang adalah upaya perampasan ruang hidup perempuan dan anak”, tegas Neny.
KPKP-ST menuntut pengakuan dan perlindungan atas hak-hak perempuan terhadap tanah, sumber daya alam, dan lingkungan hidup yang sehat. Setiap kebijakan pembangunan harus mengedepankan prinsip keadilan gender, hak asasi manusia, dan keberlanjutan lingkungan.
Masa depan Donggala tidak boleh dibangun dengan mengorbankan kehidupan perempuan dan generasi mendatang. Suara, pengalaman, dan kepemimpinan perempuan harus menjadi pusat dalam setiap pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam.
“Bagi Perempuan di Kawasan Loli raya yang sudah hidup dan membesarakan anaknya dari hasil kebun dan laut jauh sebelum tambang galian C datang, jangan atas nama pembangunan suara perempuan di abaikan dan justru di pinggirkan,” tutupnya.

