PALU— Seluruh elemen masyarakat dan buruh Pantoloan sepakat melakukan aksi bersama berupa stop kerja buruh serta penutupan jalan dan akses Pelabuhan Pantoloan hingga Gubernur Sulawesi Tengah dan Wali Kota Palu memberikan keputusan resmi terkait rencana pemindahan operasional kapal PT PELNI dari Pelabuhan Pantoloan.
Kesepakatan tersebut diambil sebagai bentuk kekecewaan mendalam atas sikap pemerintah dinilai tidak memberikan kepastian dan solusi konkret, meskipun isu pemindahan kapal telah berlangsung hampir dua tahun.
Konsolidasi akhir tersebut dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat, antara lain lembaga adat Pantoloan, LPM Pantoloan, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNBI), pengurus TKBM, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), tokoh-tokoh masyarakat, persatuan buruh pelabuhan, Persatuan Sopir tergabung dalam SBTCST (Serikat Buruh Transportasi Container Sulawesi Tengah), serta para orang tua Pantoloan selama ini menjadi rujukan masyarakat.
Seluruh peserta forum secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana pemindahan kapal dan menyatakan dukungan penuh terhadap gerakan bersama.
Dalam forum tersebut, peserta menyampaikan keresahan sama terkait dampak sosial dan ekonomi terus dirasakan masyarakat akibat ketidakjelasan kebijakan. Buruh pelabuhan, khususnya, menghadapi ancaman kehilangan mata pencaharian di tengah ketidakpastian berkepanjangan.
Koordinator Konsolidasi Akhir, Zulkarnain menyampaikan apresiasi kepada seluruh elemen hadir, terutama para orang tua Pantoloan. Ia menegaskan bahwa langkah tegas ditempuh bukan tindakan spontan, melainkan hasil kesepakatan kolektif seluruh lembaga dan tokoh masyarakat.
“Kami sudah menempuh semua langkah baik dan bermartabat menyurat, audiensi, dan bertemu para pengambil kebijakan. Namun tidak ada keputusan jelas. Inilah akibatnya jika suara rakyat diabaikan,” tegas Zulkarnain Ahad.
Ia menjelaskan, penutupan jalan dan akses pelabuhan dilakukan hingga Gubernur Sulawesi Tengah dan Wali Kota Palu datang langsung ke Pantoloan untuk menyampaikan keputusan secara terbuka di hadapan masyarakat.
“Kami menunggu Gubernur dan Wali Kota hadir memberi keputusan jelas. Selama itu belum terjadi, jalan dan akses pelabuhan kami tutup. Setelah keputusan disampaikan, barulah kami buka,” ujarnya.
Menurut Zulkarnain, situasi tersebut menunjukkan adanya jarak antara pengambil kebijakan dan masyarakat terdampak langsung. Para pemegang kewenangan dinilai tidak merasakan langsung tekanan ekonomi dialami buruh pelabuhan.
“Mungkin mereka punya kewenangan bisa tenang karena penghasilan tetap. Tetapi buruh menggantungkan hidup dari kapal. Ketidakpastian ini membuat mereka gelisah, takut, dan kehilangan rasa aman,” katanya.
Sementara, Abd. Wahyudin, Koordinator Lapangan I, menegaskan bahwa masyarakat tetap membuka ruang komunikasi dengan pemerintah. Namun perjuangan terus berjalan selama ketidakpastian dibiarkan.
“Kami tetap membuka ruang komunikasi. Tapi perjuangan berjalan karena ketidakpastian ini sudah terlalu lama,” ujarnya.
Di akhir konsolidasi, masyarakat Pantoloan menegaskan bahwa mereka bukan kelompok anti pembangunan. Namun, mereka menuntut kebijakan adil dan tidak mengorbankan masyarakat lokal.
“Pembangunan harus tumbuh. Kami tidak menolak pembangunan. Tetapi jangan sampai masyarakat Pantoloan menjadi korban kebijakan pembangunan itu sendiri,” pungkas Zulkarnain.*

