PALU- Korupsi kerap memberikan dampak langsung dirasakan masyarakat. Tindak pidana tersebut tidak hanya berkaitan dengan persoalan hukum dan ekonomi, tetapi sudah menjadi kejahatan mengancam masa depan anak bangsa serta arah pembangunan negara.
Karena itu, dibutuhkan kesamaan pandangan di antara seluruh pemangku kepentingan.

Kesepahaman ini tidak boleh sebatas jargon atau wacana, tapi harus menjadi komitmen nyata sebagai syarat mutlak agar pemberantasan korupsi berjalan efektif.

Demikian sambutan disampaikan oleh Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Sulawesi tengah (Sulteng), Imanuel Rudy Pailang, dalam focus group discussion, “Merajut Kebersamaan Pandang Dalam Penanganan Korupsi Yang Lebih Efektif”, di Aula Kaili Lantai 6, Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng, Jalan Samratulangi, Kota Palu, Rabu (3/12).

Imanuel mengatakan, tanpa kesamaan pandangan, koordinasi antarinstansi melemah. Tanpa kesepahaman, penegakan hukum rawan kehilangan arah. Dan tanpa penyatuan paradigma, penanganan kasus korupsi hanya bersifat reaktif, bukan strategis dan berkelanjutan.

“Korupsi saat ini berkembang dengan pola modern dan sistematis. Karena itu, penanganannya tidak boleh lagi dilakukan secara parsial,” ujarnya.

Lebih lanjut Imanuel mengatakan, perbedaan pemahaman mengenai alat bukti, standar kebijakan, serta pengelolaan keuangan negara dan perekonomian sering menjadi hambatan ketika penanganan perkara memasuki tahap pembuktian.

Imanuel mengatakan, dalam berbagai kasus, termasuk berkaitan dengan lingkungan hidup, masih terdapat kekosongan standar. Indonesia hingga kini belum memiliki acuan nasional tentang penghitungan kerugian ekologis sebagai bagian dari kerugian negara.

“Penanganan perkara korupsi idealnya tidak berhenti pada proses hukum semata, tetapi juga memastikan pemulihan lingkungan, layanan publik, dan fungsi sosial negara. Pendekatan restorative governance menjadi penting agar kerusakan  ditimbulkan dapat diperbaiki secara nyata, bukan hanya dicatat dalam putusan,” katanya.

Dalam FGD menghadirkan tiga narasumber, Wakil Pengadilan Tinggi Sulteng, Perwakilan BPKP dan Akademisi Untad Palu.

Dalam paparan materinya Wakil PT Sulteng Sohe mengatakan, dalam proses penegakkan hukum Jaksa, hakim, Polisi hingga KPK memiliki peran masing-masing sebagai penuntut atau pihak yang memastikan pembuktian berjalan sesuai aturan.

Sohe mengatakan, pengalaman kasus menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara Jaksa menyusun dakwaan dan hakim memutus perkara mengenai potential loss atau actual loss, terutama dalam perkara terkait lingkungan dan konservasi sumber daya alam.

Sohe mengatakan lagi, persoalan lingkungan hidup menjadi masalah serius sejak lama. Program konservasi sejak era sebelumnya seharusnya menjadi acuan. Contoh lain  penyelesaian perkara melibatkan BUMN. Dalam kasus tertentu, hakim memutus bebas karena mempertimbangkan doktrin business judgment rule (BJR).

Sementara perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sulteng, Koordinator Pengawasan (Korwas) Bidang Investigasi Bayu E Wibowo memaparkan, memaparkan kategori sumber masalah dalam pengelolaan keuangan negara diantaranya, kesalahan manusia yang masuk ranah tindak pidana korupsi. Kerugian yang masuk ruang lingkup risiko bisnis (business Judgment rule), kesalahan manusia yang tidak masuk ranah pidana dan kerugian akibat keadaan memaksa (Force majeure).

Nara sumber Dekan Fakum Untad Palu Rahmat Bakri memaparkan,
Sejumlah potensi ekonomi hilang karena lemahnya pengelolaan dan maraknya praktik ilegal seperti korupsi, perjudian daring, dan narkotika.

” Sistem hukum Indonesia masih dipengaruhi tradisi hukum Perancis yang bercorak administratif dan penuh kecurigaan,” katanya.

Rahmat mengatakan, pembentukan undang-undang melibatkan banyak kepentingan, ketika undang-undang diterapkan, cara baca dan penafsiran aparat penegak hukum tidak selalu sama dengan maksud pembuat undang-undang.

Lanjut Rahmat, UUD 1945 hanya menyebut APBN sebagai bentuk konkrit pengelolaan keuangan negara. Sementara itu, konsep “keuangan negara”, “kekayaan negara”, dan “perekonomian negara” masih abstrak.

“Sumber daya alam seperti laut, mineral, hutan, dan garam termasuk kekayaan negara, namun tidak semuanya tercatat sebagai aset secara langsung.
Hal ini menyulitkan pengukuran kerugian negara, terutama pada kasus korupsi  terkait dengan sumber daya alam,” ujarnya.