PALU- Dengan cadangan energi terbarukan mencapai 3.597,1 megawatt (MW), Sulawesi Tengah (Sulteng) berpeluang mengakselerasi transisi energi dan mendorong tumbuhnya ekonomi hijau. Pemprov Sulteng telah menginisiasi proyek energi terbarukan, namun diperlukan dukungan konkret pemerintah pusat mempercepat transisi energi tersebut.

Hal ini terungkap dalam kajian CERAH “Menakar Kesiapan Daerah untuk Transisi Energi” yang menyasar empat daerah, yakni Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah. Hasil riset menunjukkan Sulawesi Tengah memperoleh nilai 138 dari total 240, yang berarti pemprov wilayah ini telah menyadari pentingnya transisi energi untuk masa depan.

“Pemprov Sulteng paham bahwa batu bara menimbulkan dampak kesehatan dan lingkungan yang serius serta tidak berkelanjutan secara ekologis maupun ekonomi. Permasalahannya, batu bara masih dianggap lebih murah dan mudah diakses, sehingga menjadi tantangan utama dalam percepatan transisi energi,” kata Agung Budiono, Executive Director CERAH, dalam rangkaian kegiatan bertajuk ‘Mendorong Akselerasi Transisi Energi Berkeadilan: Dari Tata Kelola Mineral Kritis Daerah hingga Peluang Green Jobs di Sulawesi Tengah’ yang digelar di Palu, Kamis.

Mengacu laporan CERAH, Pemprov Sulteng mengembangkan sejumlah pembangkit listrik energi terbarukan, seperti air, biomassa, dan surya. Pemprov juga menjalankan program pemasangan meteran listrik subsidi untuk meningkatkan akses listrik bagi masyarakat. Sementara bagi wilayah yang belum terjangkau jaringan listrik, pemprov memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Hemat Energi (PLTSHE).

Sayangnya, terdapat kendala keberlanjutan program pemprov tersebut. Sebagai contoh, setelah diserahkan ke masyarakat, tanggung jawab pemeliharaan LTSHE tidak lagi menjadi tanggung jawab pemprov. Padahal, kapasitas teknis dan anggaran masyarakat untuk merawatnya sangat terbatas. Kondisi ini berujung pada kerusakan dini fasilitas tersebut, yang turut menghambat pencapaian target elektrifikasi dan transisi energi  inklusif.

Tantangan transisi energi di Sulawesi Tengah semakin besar karena kebijakan pemerintah pusat tidak sejalan. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 masih mengizinkan pemanfaatan PLTU khusus bagi industri (captive). Akibatnya, 12 unit PLTU captive berkapasitas 5 gigawatt (GW) di kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) masih mendominasi sistem energi Sulawesi Tengah.

Imbasnya, bauran energi terbarukan di wilayah tersebut, hanya mencapai 9,83% –turun dari 10,4% pada 2024, dan jauh di bawah target 30,51% pada 2025 dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019-2050. Padahal tanpa memasukkan PLTU captive, bauran energi di Sulawesi Tengah telah mencapai sekitar 40%.

“Operasional PLTU industri ini membuat Sulawesi Tengah mengalami kenaikan emisi gas rumah kaca hingga 47.091 gigagram setara karbon dioksida (GgCO₂eq) pada 2023, dan 94% di antaranya berasal dari sektor energi. Pemerintah daerah mengakui pencemaran dan kerusakan lingkungan di kawasan IMIP, namun kewenangan mereka terbatas hanya pada pemantauan dan inventarisasi emisi karena izin pengelolaan industri berada di tangan pemerintah pusat,” Agung menambahkan.

Dalam kesempatan  sama, hasil riset INDEF “Strategi Penguatan Tenaga Kerja dalam Era Mineral Strategis: Dampak terhadap Pasar Kerja dan Arah Peningkatan Kualitas Pekerja” mengungkapkan, meski turut mendongkrak Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menjadi 41,18% pada 2024, penyerapan tenaga kerja lokal oleh hilirisasi nikel justru rendah. Lonjakan tenaga kerja IMIP dari 35 ribu pada 2020 menjadi 85 ribu pada 2025, hanya 18% pekerja industri  berasal dari kabupaten.

Porsi pekerja formal di Sulawesi Tengah juga hanya 34-37%, bahkan pekerja outsourcing dan kontrak jangka pendek mendominasi struktur tenaga kerja.

Kondisi tersebut diakibatkan oleh rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), mayoritas hanya lulusan SD-SLTA. Akibatnya, investasi hilirisasi tetap didominasi pekerja migran hingga kapasitas SDM lokal ditingkatkan secara agresif. Karenanya, perlu ada pelatihan berbasis kompetensi didanai oleh industri dan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas SDM lokal, memprioritaskan penyerapan tenaga lokal –yang juga dapat mengisi posisi strategis, hingga jaminan upah layak, keselamatan kerja, dan kontrak kerja jelas.

“Sulteng menempati posisi strategis, bukan hanya karena menjadi pusat mineral namun juga ekonomi hijau. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas tenaga kerja menjadi kebutuhan mendesak  harus segera diatasi oleh pemerintah,” Eko Listiyanto, Direktur INDEF, menegaskan.

Peluang Green Jobs

Koaksi Indonesia menilai Sulteng berpeluang membuka lapangan pekerjaan hijau (green jobs)  sangat besar. Untuk itu, Koaksi Indonesia menggelar Green Jobs Workshop guna meningkatkan pemahaman dan peran aktif anak muda dalam mendorong pekerjaan hijau.

A Azis Kurniawan, Manajer Kebijakan dan Advokasi Koaksi Indonesia, mengungkapkan bahwa isu tenaga kerja dalam ekonomi hijau tidak hanya terkait penciptaan lapangan kerja, tetapi juga transformasi keterampilan (reskilling).

“Green jobs tidak hanya soal keberlanjutan dan efisiensi, tetapi juga terkait jenis pekerjaan hilang dan muncul. Sektor tambang di Sulteng misalnya, suatu saat akan habis. Di sisi lain, energi terbarukan sendiri menawarkan sekitar 500 ribu peluang kerja, terutama tenaga teknis, dan itu baru satu sektor,” ujar Aziz.

Aziz menegaskan, tujuan utama penciptaan lapangan kerja hijau bukan sekadar mengejar tren global, melainkan menemukan minat dan profesi  selaras dengan kebutuhan masa depan. Sulteng memiliki peluang besar untuk menyiapkan anak muda agar bertransisi ke pekerjaan hijau, sehingga kesiapan keterampilan tenaga kerja menjadi kuncinya. 

Untuk itu, penguatan green jobs di Sulteng membutuhkan peran aktif pemerintah daerah. Apalagi, tantangan Sulteng bukan hanya kapasitas SDM, tetapi juga kompleksitas ekosistem daerah. 

“Pertanyaannya adalah bagaimana Sulteng bisa benar-benar menghasilkan lapangan kerja hijau? Setiap sektor sebenarnya punya potensi, tapi butuh produktivitas, efisiensi, dan kolaborasi. Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, swasta, masyarakat sipil, kampus, dan industri harus bergerak bersama. Semua tempat bisa menjadi ranah green jobs, asalkan difasilitasi oleh kebijakan dan ekosistem tepat,” Aziz menjelaskan.***