BUKAN hanya tempat ibadah, rumah ibadah kini dipandang sebagai simpul strategis dalam sistem penanggulangan bencana. Pandangan ini menguat dalam Workshop penyampaian hasil Proyek Deepening Role of Faith Leaders and Religious Places in Disaster Risk Management (DROFLERD-DRM) yang berlangsung di Hotel BW Coco, Selasa (25/11).

Program yang digagas Yayasan Relief Islami Indonesia (YRII) sejak 2023 ini menunjukkan bahwa masjid, gereja, dan pura tidak hanya menjadi ruang spiritual, tetapi juga ruang keselamatan sosial ketika bencana melanda.

Asisten Pemerintahan dan Kesra Dr. Fahrudin menyebut keberadaan rumah ibadah sering kali menjadi penentu keselamatan warga ketika infrastruktur formal belum bisa bekerja cepat.

“Saat bencana terjadi, rumah ibadah sering kali menjadi tempat perlindungan, pusat informasi dan ruang solidaritas bagi penyintas,” ujarnya membacakan sambutan tertulis gubernur.

Model ini terlihat dari keterlibatan Masjid Jami Al Hidayah, GPID Patmos Jono Oge dan Pura Agung Wana Kerta Jagadnatha sebagai pilot learning center mitigasi bencana berbasis komunitas dalam proyek tersebut.

Menurutnya, keterlibatan rumah ibadah dan pemuka agama dapat memperpendek jalur komunikasi, memperkuat literasi kebencanaan, sekaligus membangun kepercayaan publik dalam respon darurat.

“Kerjasama antara pemerintah daerah, lembaga kemanusiaan dan pemuka agama adalah pilar utama dalam menciptakan masyarakat yang tangguh, inklusif dan siap menghadapi berbagai potensi bencana,” tambahnya.

Model Sulteng Dilirik Dunia

Pimpinan YRII Nanang Subarja Dirja menegaskan bahwa peran rumah ibadah sebagai simpul kesiapsiagaan bukan hanya relevan di tingkat lokal, tetapi memiliki nilai strategis untuk kawasan rawan bencana di dunia.

“Semoga pendekatan ini dapat dikembangkan saudara-saudara kita di belahan dunia lain yang punya kemiripan dengan Sulawesi Tengah,” katanya secara daring.

Perhatian terhadap model rumah ibadah sebagai pusat mitigasi juga datang dari Islamic Relief United Kingdom (UK). Perwakilannya, Mr. Atallah, hadir langsung ke Palu untuk mempelajari struktur dan dampaknya.

Ia menyampaikan kekagumannya terhadap integrasi lintas iman yang berjalan secara alami di Sulteng dan mengaku inisiatif ini layak dijadikan rujukan global.

“Proyek di Sulteng ini akan dijadikan modul bagi Islamic Relief untuk dibawa ke belahan dunia lain,” ucapnya melalui penerjemah.

Dengan model yang dikembangkan, rumah ibadah di Sulteng bukan hanya menjadi tempat ritual keagamaan tetapi juga ruang aman, ruang belajar, ruang koordinasi, bahkan ruang pemulihan psikososial pascabencana.

Jika model ini direplikasi internasional, maka Sulteng bukan hanya membangun ketangguhan masyarakatnya sendiri—tetapi juga menyumbang paradigma baru bagi kebencanaan dunia: bahwa tempat ibadah adalah tiang kemanusiaan, bukan hanya tiang ibadah.***