MARSEL Takko tak pernah membayangkan bahwa hidup yang berawal dari keretakan keluarga justru membawanya pada motivasi yang tinggi untuk terus berarti.
Malam tadi, Kamis (20/11), ia tampil ke depan, menerima penghargaan sebagai juara 1 lomba penyiar dalam rangka 39 tahun Radio Nebula. Usai itu di ruang tamu Radio Nebula, air matanya tumpah. Ia membatin penghargaan, ini bukan sekadar kemenangan, melainkan karena perasaan diterima, sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya.
Marsel berasal dari Nanggala, Toraja, sebuah kampung yang kini hanya ia sebut dalam hati. Sejak beberapa tahun terakhir, ia tak lagi diakui sebagai bagian dari keluarganya. Tidak dijelaskan, peristiwa apa yang menjadi titik balik hubungan itu, namun nada suaranya menggambarkan luka yang belum selesai. Yang tersisa hanyalah keinginan sederhana: suatu hari, kabar baik tentang dirinya bisa kembali menyapa kampung halamannya.
Hidup di tengah posisinya, tidak sekadar hanya soal bertahan, tapi berusaha sebaik mungkin dalam setiap kesempatan, karena itu satu-satunya cara baginya merasa berarti.
“Saya tidak menyangka bisa menjadi terbaik. Saya hanya berusaha tampil sebaik mungkin. Ini hal tidak pernah saya mimpikan, walaupun saya sudah menyiapkan diri. Semoga kabar ini sampai di kampung halaman saya,” katanya lirih.
Di Palu, Marsel menjalani hari-harinya dengan menumpang tinggal di Masjid FISiP Universitas Tadulako. Di tempat itulah ia makan, belajar, istirahat, dan menata ulang masa depannya. Ia menjalani studi di jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Dia terus memantau kesempatan, bila ada lomba penyiaran, karena telah memberinya ruang untuk bersuara. Dunia suara itu, bagi Marsel, terasa seperti rumah baru.
Desember nanti, jika tidak ada halangan, Marsel akan mengenakan toga. Setelah wisuda, ia berencana mengikuti lomba penyiaran lain di Universitas Padjadjaran Bandung.
Meski hidupnya ditempa oleh jarak dan kehilangan, Marsel melangkah dengan keyakinan bahwa suara manusia selalu mencari ruang untuk didengar. Di tengah kesunyian yang ia bawa dari rumah asalnya, ia menemukan frekuensi baru yang membuatnya merasa hidup kembali. Frekuensi yang membisikkan bahwa pengakuan sejati terkadang lahir bukan dari darah, tetapi dari keberanian untuk terus melangkah.***

