PALU — Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menyambut baik kegiatan musyawarah Forum Tokoh Agama untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang digagas Islamic Relief Indonesia. Musyawarah Forum ini secara resmi dibuka oleh Gubernur Sulawesi Tengah yang diwakili Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat, Drs. Awaluddin, berlangsung di salah satu hotel di Kota Palu, Rabu (19/11) pagi.
Dalam sambutannya, Awaluddin menegaskan bahwa pembentukan forum lintas agama ini merupakan langkah penting dalam upaya memperkuat kesiapsiagaan masyarakat menghadapi ancaman bencana.
“Atas nama pribadi dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, kami menyambut baik lahirnya forum ini. Pengurangan risiko bencana bukan hanya tugas pemerintah, tetapi gerakan bersama seluruh komunitas keagamaan,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa rumah ibadah memiliki fungsi strategis dalam membangun budaya sadar bencana, karena menjadi pusat pembinaan umat sekaligus ruang penyebaran informasi yang efektif. Program PRB berbasis agama yang telah berjalan sejak 2023, menurutnya, menunjukkan hasil positif dan perlu diperluas.
“Gereja, masjid, pura, dan seluruh komunitas agama memegang peranan penting. Tokoh agama memiliki pengaruh kuat dalam menjaga perilaku masyarakat, termasuk kesiapan menghadapi bencana,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris FKUB Sulawesi Tengah, Dr. H. Munif A. Godal, menegaskan bahwa kolaborasi antara FKUB dan Islamic Relief telah menghasilkan langkah-langkah penting yang menguatkan peran tokoh agama dalam PRB. Munif menyampaikan bahwa pelatihan lintas agama yang telah dilakukan melahirkan sejumlah master trainer yang tidak hanya memahami konsep kebencanaan.
“Tokoh agama tidak hanya berkewajiban meningkatkan kualitas keimanan umat. Mereka juga harus menjadi penggerak sosial yang membawa manfaat bagi keselamatan masyarakat,” ucapnya.
Ia berharap pesan-pesan kesiapsiagaan dapat diintegrasikan dalam kegiatan keagamaan, mulai dari khutbah, pengajaran di sekolah minggu, hingga kegiatan majelis keagamaan lainnya. Munif juga menekankan perlunya memperkuat moderasi beragama sebagai fondasi kolaborasi lintas iman dalam penanganan bencana.
“Materi kebencanaan dapat masuk dalam dakwah, dalam pengajaran, dan dalam kegiatan rutin umat. Dengan begitu, budaya siaga bencana tumbuh dari akar komunitas,” pungkasnya.

