PALU — Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah memiliki banyak tambang. Dengan itu kerusakan ekologis sudah tidak bisa dihindari dan nilai ekonomis diterima tak sebanding dengan kerusakan serta sumber daya alam dikeruk.

Olehnya daerah harus mampu mengisolasi dampak, menarik manfaat dan memaksimalkan ruang kewenangan tidak bertentangan dengan regulasi nasional.

“Kalau kita hanya menyalahkan, kita rugi dua kali. Lingkungan rusak, sosial rusak, manfaat tidak dapat. Maka caranya adalah masuk, menghitung dengan cermat, dan mengambil manfaat tanpa harus bertarung langsung dengan negara,” kata Penanggung jawab Program Prakarsa Borneo, Muhamad Muhdar dalam diskusi perbaikan tata kelola pertambangan batuan di Sulawesi tengah, di Cafe My Kopi O Palu, Jalan RA Kartini, Kota Palu, Senin (17/11).

Guru besar bidang Ilmu hukum lingkungan, Fakultas hukum, Universitas Mulawarman tersebut mengatakan, pertanyaan penting siapa menguasai hutan dan ruang hidup masyarakat Sulteng? Siapa yang memetakan kawasan masih tersisa? Dan bagaimana masyarakat bisa memperoleh manfaat bila ruang itu dikelola dengan pendekatan benar?

Ia mengatakan, data tersebut bisa menjadi advokasi agar perusahaan mengidentifikasi dan satwa harus dilindungi, menuju skema perdagangan karbon kini mulai berkembang.

Muhdar mengatakan, lembaganya sejak 2012 memilih berada “di tengah”, bekerja bersama pemerintah namun tetap memproteksi masyarakat dari dampak negatif industri ekstraktif. Pendekatan tersebut dibangun untuk membaca arah kebijakan sekaligus mencegah masyarakat menjadi korban berulang.

Muhdar menggambarkan, Kalimantan Timur mengalami tiga fase besar perubahan lanskap sumber dayanya, fase pembalakan kayu,ekspansi sawit, ledakan tambang batubara.

Ia mengatakan, praktik-praktik manipulatif sektor sawit, termasuk perusahaan mencari lahan hanya untuk memperoleh sertifikat HGU sebagai jaminan bank tanpa benar-benar menanam sawit. Salah satu studi yang ia lakukan menemukan selisih mencolok antara luas izin perusahaan dengan lahan aktual di lapangan, sebelum akhirnya izin itu dicabut pemerintah daerah.

“Setelah pencabutan, muncul temuan bahwa aset tersebut dijaminkan di bank luar negeri dengan nilai mencapai triliunan rupiah,” ujar Muhdar sambil menyebut contoh sebuah perusahaan yang mengalirkan dana hingga ke Qatar National Bank.

Menurutnya, rangkaian aktivitas ekstraktif di Kaltim memicu konflik agraria, degradasi pertanian, kerusakan air, hingga korban jiwa. Ia mencatat 52 anak meninggal di lubang bekas tambang, tetapi perkara-perkara itu tak pernah sampai ke pengadilan.

“Kasusnya berhenti di penyidikan karena keluarga tidak bersedia autopsi,” katanya.

Ia menegaskan bahwa Kaltim kini menjadi semacam “laboratorium” untuk belajar bagaimana kejahatan lingkungan bekerja, bagaimana data perdagangan sumber daya berbeda antara catatan Indonesia dan data penerima seperti Shanghai, serta bagaimana sistem pengawasan sering tak mampu mengimbangi laju eksploitasi.

Dalam diskusi menghadirkan narasumber Akademisi Untad Palu Leli Tibaka, GB FEB Untad Local Ekspert Sulteng- Regional Ekspert Sulawesi- Kemenkeu, Moh Ahlis Djirimu.

Prakarsa Borneo dan yayasan Komiu bekerjasama dengan Akademisi Fakultas hukum Universitas Tadulako Palu merancang masukkan perbaikan tata kelola pertambangan batuan dalam bentuk naskah akademik