PALU – Selama bertahun-tahun, ukuran keberhasilan DPRD sering kali dikaitkan dengan seberapa banyak Peraturan Daerah (Perda) yang mereka hasilkan setiap tahun.

Namun, paradigma itu kini mulai bergeser. Pemerintah pusat menilai, era menilai kinerja DPRD dari sisi kuantitas produk hukum telah berakhir — yang penting sekarang adalah sejauh mana regulasi itu memberi manfaat nyata bagi rakyat.

Pernyataan ini disampaikan Adi Arbi Susanto, Analis Kebijakan Ahli Pertama Direktorat Produk Hukum Daerah, Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri, dalam kegiatan Analisis Kebutuhan Peraturan Daerah (AKP) terhadap Program Pembentukan Perda (Propemperda) Tahun 2026 yang digelar di ruang sidang utama DPRD Sulawesi Tengah, Jumat (10/10/2025).

“Bukan zamannya lagi menganggap DPRD berhasil hanya karena banyak menghasilkan Perda. Yang penting bukan jumlahnya, tapi sejauh mana Perda itu efektif menjawab kebutuhan masyarakat,” ujarnya tegas.

Kebijakan yang Hidup dari Rakyat

Adi menekankan, setiap Perda idealnya lahir dari kebutuhan riil masyarakat. Bukan semata memenuhi daftar target tahunan atau menambah portofolio legislasi daerah. Menurutnya, sebuah Perda baru bisa disebut berhasil jika mampu menjadi solusi terhadap persoalan yang dihadapi publik, sekaligus memperkuat tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat.

“Perda itu bukan sekadar produk hukum, melainkan instrumen kebijakan publik. Ia harus menjawab masalah, bukan sekadar memenuhi target pembentukan,” kata Adi menambahkan.

Menemukan Arah Baru Legislasi Daerah

Kegiatan AKP yang digagas oleh Bagian Persidangan dan Perundang-Undangan Sekretariat DPRD Sulteng ini dibuka oleh Kabag Persidangan dan Perundangan-Undangan, Asmir J Hanggi, SH, MH, mewakili Sekretaris DPRD Sulteng, Siti Rachmi A Singi, S.Sos, M.Si.

Kegiatan ini turut diikuti tenaga ahli DPRD, akademisi, serta perwakilan dari sejumlah OPD pengusul Raperda inisiatif seperti BPKAD, Bapenda, Dinas Pendidikan, Dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup, dan DPMPTSP.

Diskusi berlangsung dinamis. Sejumlah peserta menyoroti efektivitas perda-perda sebelumnya, termasuk usulan tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan penguatan peran BUMD daerah. Dari situ, tampak jelas bahwa persoalan utama bukan pada sedikit atau banyaknya perda, melainkan pada sejauh mana naskah akademik dan perencanaan kebijakan dibuat berbasis data serta kebutuhan publik.

Dari Regulasi ke Solusi

Dalam kesempatan yang sama, Luly Afiyanti, SH, MAP, Perancang Perda Ahli Muda Sekretariat DPRD Sulteng, menjelaskan bahwa kegiatan Analisis Kebutuhan Perda (AKP) bertujuan menjaring aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah.

“AKP membantu kita merancang Propemperda yang realistis, sesuai dengan prioritas dan kemampuan anggaran daerah. Intinya, bukan banyaknya perda, tapi bagaimana setiap perda benar-benar memberi daya ungkit bagi kemandirian dan pemberdayaan masyarakat,” jelas Luly.

Paradigma baru ini menjadi sinyal bahwa DPRD dituntut tidak lagi bekerja berdasarkan rutinitas legislasi, tetapi pada upaya melahirkan regulasi yang hidup dan berdampak langsung bagi masyarakat. ***