PALU- Journastoria dengan dukungan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sulawesi Tengah dan Yayasan Karuna Dipa, melaksanakan kegiatan Jalan-jalan Sejarah (JJS) bertajuk Menyusuri Jejak Masyarakat Tionghoa di Kota Palu, Senin (10/11).
Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangkaian memperingati Hari Pahlawan, diikuti puluhan peserta berasal dari berbagai latar belakang, antara lain mahasiswa, pegiat literasi, jurnalis, komunitas, serta kalangan umum. Pada kegiatan tersebut, lokasi Sekolah Tionghoa (Chung Hwa Xue Xiao) terletak di Jalan Gajah Mada Lorong Bakti, menjadi titik kumpul.
Di lokasi tersebut, pemandu Jefrianto menjelaskan tentang sejarah sekolah didirikan 1921 tersebut, hingga kemudian ditutup 1965. Sekolah tersebut pada prosesnya tidak hanya menerima siswa Tionghoa saja tetapi juga siswa dari kalangan masyarakat lokal dan masyarakat pendatang lainnya di Kota Palu.
“Setelah ditutup, gedung sekolah kemudian diambil alih oleh pemerintah daerah dan kemudian diserahkan penggunaannya kepada IKIP Ujung Pandang Cabang Palu. Saat ini, lokasi tersebut berstatus Barang Milik Negara (BMN), dengan penggunaan diserahkan ke Universitas Tadulako (Untad),” ujar Jefri.
Dari sekolah tersebut, peserta kemudian beranjak ke Vihara Karuna Dipa terletak di Jalan Gajah Mada, yang dulu dikenal dengan nama Klenteng Kwan Im, didirikan oleh Phan A Lin (Jo Pit Nio) pada 1942.
Pengurus PSMTI Sulteng, Ito Lawputra menjelaskan, pada tahun 1981, klenteng tersebut beralih fungsi menjadi Vihara Karuna Dipa, menyusul Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1980 dan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1980, yang mewajibkan setiap rumah ibadah memiliki pengurus berstatus Warga Negara Indonesia dan terdaftar di Departemen Agama.
Dari vihara tersebut, para peserta kemudian menyusuri Jalan Teuku Umar menuju Kawasan Pasar Tua, merupakan pusat ekonomi lintas etnis sejak masa kolonial.
Para peserta juga mengunjungi gedung bekas Apotik Sulinda milik Halim Labako, tokoh masyarakat Tionghoa–salah seorang donatur pembangunan Lapangan BASPI Nunu.
Perjalanan berakhir di SD Muhammadiyah 1 di Jalan Sungai Kinore, yang menjadi tempat bersekolah sebagian besar anak-anak Tionghoa saat Sekolah Tionghoa ditutup.
Pemandu kegiatan, Jefri menjelaskan, JJS ini pada dasarnya, ingin memperkenalkan bahwa di Palu ada komunitas masyarakat Tianghoa. Komunitas ini juga punya andil dalam pembangunan daerah, khususnya Kota Palu. Mereka punya jejak sejarah namanya Sekolah Tionghoa, tidak hanya menerima siswa Tionghoa tapi juga siswa dari masyarakat lokal.
Kegiatan kali ini dalam upaya mempererat multikulturalisme dan pluralisme ada di Palu. Sebab Palu sebagai wilayah terdiri dari banyak etnis bisa berdampingan dengan rukun dan damai.
Menurutnya, semangat ini ingin diwariskan ke generasi berikutnya, karena di wilayah Palu bagian barat dulu sampai hari ini menjadi pusat ekonomi di Palu. Dibangun dengan semangat menghargai perbedaan multikulturalisme dan semangat untuk bersama-sama membangun daerah.
Salah satu yang nampak dalam sejarah di Palu, di saat akses pendidikan untuk masyarakat masih sangat terbatas di masa kolonial, orang-orang Tionghoa bersama masyarakat keturunan Arab berani untuk mengelola pendidikan.
Salahsatu peserta JJS ini, Anita mengatakan, mereka berkeliling untuk mengetahui latar belakang orang Tianghoa tinggal di Kota Palu. Mulai perkembangan mereka, domisili, sekolah, dan tempat ibadah.
Adapun manfaatnya, untuk mengenal sejarah bagaimana mereka berkembang dan kemudian berkontribusi kepada kota Palu.
“Jadi sebenarnya mengunjungi tempat-tempat seperti ini adalah membuat kita menambah wawasan dan mengajarkan kepada orang lain, mungkin nanti bertanya tentang sejarah, kita bisa jelaskan,” katanya.


