PALU — Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia (RI) Prof. K.H. Nasaruddin Umar menyambangi Perguruan Pendidikan Alkhairaat, di komplek Alkhairaat Pusat, Ahad (2/11) pagi ini.
Pada kunjungan ini, Menag Nasaruddin memaparkan perbedaan menempuh pendidikan di sekolah dan pondok pesantren/madrasah. Perbedaan mendasar antara pembelajaran di sekolah umum dan pondok pesantren/madrasah terletak pada orientasi dan metodologi.
“Dalam dunia pendidikan modern menekankan percepatan proses belajar melalui sistem accelerated learning atau Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), pondok pesantren tetap memegang teguh tradisi pembelajaran berbasis nilai spiritual,” kata Menag dalam silaturahmi bersama keluarga besar Alkhairaat, di Gedung Almukhsinin.
Nasaruddin mengatakan, di madrasah dan pesantren, guru bukan hanya pengajar ilmu pengetahuan, melainkan pembimbing rohani berperan sebagai “penyambung lidah” dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
“Guru hanya menjadi perantara dalam menyampaikan pengetahuan bersumber dari Alquran dan hadist Rasulullah,” ujarnya.
Nasaruddin menjelaskan, perbedaan mendasar antara pembelajaran di sekolah umum dan pondok pesantren terletak pada orientasi dan metodologi. Di sekolah umum, guru menyiapkan bahan ajar berbasis perangkat modern seperti buku, laptop, atau tablet. Namun, di pesantren, persiapan seorang guru tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga spiritual.
Sebelum mengajar, guru di pesantren melakukan sholat tahajud dan berdoa agar ilmu yang disampaikan membawa berkah.
“Ya Allah, besok saya akan mengajarkan kitab Thaharah kepada anak-anak saya. Berkahilah ilmu ini.” Demikian doa yang biasa dipanjatkan. Tak jarang pula mereka menambah salat dhuha dan hajat sebelum mengajar.
Sebelum pelajaran dimulai, baik guru maupun santri membaca surah Al-Fatihah bersama. Setelah selesai, mereka kembali berdoa agar ilmu yang dipelajari diberkahi. Inilah yang disebut dengan metodologi Al-Qur’an—proses pembelajaran yang dimulai dengan tazkiyah (penyucian diri) sebelum ta’lim (pemberian ilmu).
“Konsep tazkiyah ini menjadi pembeda utama antara sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan umum. Di sekolah umum, proses belajar langsung berfokus pada pengetahuan (kognitif). Sedangkan di pesantren, kebersihan hati dan niat yang tulus dianggap sebagai syarat utama untuk memahami ilmu dengan benar,” bebernya.
Menurut tafsir Ibnu Ajibah, dalam konteks ini, ilmu diibaratkan seperti makanan. Ada makanan jasmani—seperti nasi, buah, dan teh—yang mengenyangkan tubuh, dan ada makanan rohani berupa ilmu pengetahuan yang mengenyangkan jiwa. Rasulullah SAW mengingatkan agar setiap amal, termasuk belajar dan makan, diawali dengan basmalah agar setan tidak ikut campur dalam prosesnya.
“Barang siapa yang makan tanpa membaca basmalah, maka setan akan ikut bersama sari makanan itu dan mengacaukan pikirannya.” Demikian sabda Rasulullah SAW.
“Pesan ini menegaskan bahwa proses pembelajaran bukan hanya sekadar mengasah kecerdasan intelektual, melainkan juga menumbuhkan kecerdasan spiritual dan moral,” tuturnya.
Olehnya kata Nasaruddin, di tengah derasnya arus modernisasi pendidikan, pondok pesantren hadir sebagai penyeimbang. Ia tidak sekadar mencetak murid cerdas, tetapi juga pribadi beradab dan beriman. Dengan mengedepankan adab sebelum ilmu, pesantren menjaga ruh pendidikan agar tetap berporos pada keberkahan, bukan sekadar hasil akademik.
Bagi para santri, keberadaan di madrasah dan pesantren bukanlah penyesalan, melainkan anugerah. “Bersyukurlah kepada Allah SWT karena kalian diberi petunjuk untuk belajar di pondok pesantren,” ujar Nasaruddin.
“Ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kepintaran tanpa cahaya,” katanya.
Sementara, Ketua Umum Pengurus Besar Alkhairaat (PB Alkhairaat) Mochsen Alaydrus memaparkan perkembangan lembaga pendidikan Alkhairaat telah berada di 26 Provinsi di Indonesia.
“Hampir 1700 lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi,” katanya.
Mochsen mengatakan, Alkhairaat siap mendukung program-program dicanangkan menteri agama.
“Alkhairaat siap mendukung semua program-programnya,” katanya.

