PALU – Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden, menyinggung perubahan besar dalam sistem kekuasaan negara, akibat teknologi digital.

Hal itu disampaikannya dalam seminar mata kuliah Hukum Tata Negara bertema “Tantangan Demokrasi Digital dan Desain Ketatanegaraan Indonesia” yang digelar di Gedung Study Center UIN Datokarama Palu, Kamis (23/10).

Kegiatan tersebut turut dihadiri satu narasumber lainnya, yakni Dr. Rahmat Bakri, selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad).

Sahran menjelaskan bahwa demokrasi Indonesia kini tengah hidup di tengah pusaran Era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity), yaitu situasi dunia yang penuh ketidakstabilan, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas tinggi.

Dalam konteks tersebut, kata dia, demokrasi tidak lagi cukup bertumpu pada prosedur elektoral semata, melainkan membutuhkan penguatan institusi yang kokoh dan kolaboratif dari berbagai elemen bangsa.

“Institusi demokrasi seperti ruang publik, pemilu, partai politik, dan sistem hukum harus mampu bertransformasi dan beradaptasi dengan cepat agar tetap relevan di tengah perubahan global yang dinamis,” ujarnya.

Menurutnya, ketatanegaraan Indonesia di era digital menghadapi tantangan besar dalam hal kedaulatan teritori digital.

Kata dia, demokrasi digital menuntut desain ketatanegaraan yang mengedepankan integrasi antara kebijakan hukum dan teknologi digital secara kolaboratif dan komprehensif.

“Tujuannya adalah menjamin kedaulatan digital, perlindungan hak-hak warga negara, serta memperkuat sistem demokrasi agar tidak terkooptasi oleh kekuatan teknologi yang tidak diatur oleh konstitusi,” jelasnya.

Transformasi digital dalam sistem pemerintahan, lanjutnya, juga memerlukan desain konstitusional yang adaptif, sehingga dapat membuka ruang bagi partisipasi publik digital, transparansi, dan efisiensi dalam tata kelola pemerintahan.

Dalam konteks itu, kata dia, desain baru ketatanegaraan Indonesia tetap menegaskan sistem presidensial dengan presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, penerapan prinsip separation of power dan checks and balances antar lembaga negara, serta jaminan terhadap stabilitas pemerintahan.

Dr. Sahran juga menyoroti bagaimana konstitusionalisme digital kini memengaruhi pembagian kekuasaan negara.

Dalam era digital, katanya, muncul aktor-aktor baru berupa korporasi teknologi raksasa yang mengelola platform digital, big data, dan kecerdasan buatan, yang pada praktiknya tidak tunduk pada mekanisme konstitusi negara.

Menurutnya, kondisi ini menciptakan dinamika baru dalam pembagian kekuasaan dan bahkan berpotensi mengurangi otoritas negara.

“Fenomena ini menuntut adanya pembaruan desain ketatanegaraan yang mampu mengakomodasi kekuasaan digital sebagai bagian dari ekosistem kekuasaan baru yang kompleks. Tujuannya agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga dan perlindungan hak asasi warga negara dapat berjalan efektif,” jelasnya.

Ia menambahkan, lembaga kepresidenan kini menghadapi tekanan signifikan dari ekosistem digital yang sarat dengan misinformasi dan disinformasi.

Arus informasi yang tak terbendung di media sosial sering kali merusak persepsi publik terhadap lembaga kepresidenan dan memunculkan ketidakpercayaan.

Selain itu, kata dia, perubahan budaya komunikasi dari pola konvensional ke digital menuntut pejabat dan staf kepresidenan untuk menguasai teknologi serta strategi komunikasi digital agar mampu menjaga kredibilitas dan citra lembaga negara.

Dr. Sahran juga mengingatkan bahwa keamanan data dan perlindungan privasi menjadi isu penting yang tak bisa diabaikan.

“Penyalahgunaan informasi dapat merugikan lembaga kepresidenan sekaligus mengancam stabilitas pemerintahan,” katanya.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa pengaruh platform digital juga terasa kuat dalam cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif.

Dalam proses legislasi, konsep CrowdLaw dan digitalisasi hukum mulai diterapkan untuk memperkuat partisipasi publik.

Melalui platform daring, lanjut dia, masyarakat dapat memberikan masukan langsung terhadap rancangan undang-undang, sehingga proses pembentukan hukum menjadi lebih transparan dan inklusif.

Menurutnya, partisipasi semacam ini merupakan langkah maju dalam memperkuat legitimasi demokrasi, asalkan tetap dijaga dari manipulasi digital dan politik kepentingan.

Namun di sisi lain, teknologi digital juga menghadirkan tekanan terhadap lembaga yudikatif. Fenomena “pengadilan oleh media sosial” atau trial by social media menciptakan opini publik yang masif dan cepat, hingga berpotensi mengganggu independensi hakim dalam memutus perkara.

Media sosial, kata Sahran, sering kali menjadi ruang publik tanpa kendali yang mengedepankan narasi viral ketimbang fakta hukum yang objektif.

“Teknologi telah mengubah peran lembaga legislatif dan turut memengaruhi independensi yudikatif. Maka negara perlu menata ulang keseimbangan antara kekuasaan konstitusional dan kekuasaan digital agar hak warga negara tetap terlindungi dan supremasi konstitusi tidak tergerus oleh kekuatan algoritma,” tandasnya.