PALU – Sejumlah organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Working Group Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sulawesi – Papua, menyerukan urgensi kebijakan nasional dan daerah terkait moratorium izin tambang, pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.

Peneliti PWYP Indonesia, Ariyansah Kiliu mengatakan, seharusnya perlu dilakukan dan urgen bukanlah membuka keran izin pertambangan. Melainkan justru moratorium izin tambang.

“Komitmen Indonesia dalam perjanjian Paris, mengharuskan pengurangan aktivitas pertambangan, khususnya batubara. Saat ini misalnya, over produksi batu bara telah melampaui batasan ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional RUEN), yang memandatkan,” kata Ariyansyah dalam diskusi media bertajuk “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan
Tata Kelola Minerba dari Timur,” diselenggarakan secara hybrid di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu 11 Oktober 2025.

Ariyansah mengatakan, produksi batubara maksimal 400 juta ton di 2019 dan seterusnya. Namun kini, 2024 misalnya, produksi telah mencapai angka 800 juta ton.

Selain itu, kata Ariyansah, aktivitas pertambangan melampaui daya dukung ruang dan lahan, bahkan tambang nikel misalnya, menjadi sumber deforestasi baru.

“Di sisi lain, masih buruknya tata kelola sektor pertambangan, seperti banyaknya perusahaan yang belum menempatkan jaminan reklamasi pasca tambang, maraknya tambang ilegal, kasus korupsi, maraknya pelanggaran HAM dan lingkungan dan minimnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor tambang menjadi alasan urgensi moratorium izin tambang,” katanya.

Di Sulawesi Tengah (Sulteng) misalnya, Yayasan Kompas Peduli Hutan (KoMIU) menilai,
dampak ekonomi dari investasi pertambangan belum signifikan dirasakan masyarakat
secara keseluruhan.

“Hanya menimbulkan berbagai persoalan seperti konflik sosial di lingkar tambang, kerusakan infrastruktur jalan, banjir, krisis air bersih, deforestasi, hilangnya sumber daya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem laut akibat tambang, kehilangan lahan pertanian, polusi, penyakit ispa akibat debu dari aktivitas pertambangan, pencemaran air bersih dan lain-lain,” kata Ufudin dari KoMIU.

Lanjut Ufudin, pemerintah pusat harus segera melakukan moratorium seluruh izin tambang mineral logam di seluruh daerah, jangan hanya memikirkan untuk bagaimana mendapatkan nilai investasi sebanyak-banyaknya.

“Pemerintah harus serius melihat moratorium izin tambang ini,” ujarnya.

Direktur WALHI Sulawesi Tengah (Sulteng), Sunardi Katili, menyebut, dampak kerusakan ekologi dan pelanggaran HAM, deforestasi, krisis iklim, banjir, kesehatan dan menurunnya kehidupan ekonomi rakyat menjadi alasan utama pentingnya moratorium izin di sektor pertambangan.

Selain dari Sulteng, suara moratorium juga datang dari Sulawesi Selatan (Sulsel).
Menurut YASMIB Sulawesi, moratorium dibutuhkan untuk menghentikan sementara
penerbitan izin tambang baru di wilayah Sulawesi Selatan yang mengalami kerusakan
hutan, pencemaran air, dan konflik lahan akibat aktivitas tambang di beberapa daerah,
serta fokus pada penghentian ekspansi tambang hingga tata kelola izin dan daya dukung lingkungan diperbaiki.

“Moratorium sangat relevan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) Sulawesi Selatan (Sulsel) 2025-2045, Komitmen Net Zero Emission 2060 dan
transisi ekonomi hijau nasional dan kepentingan masyarakat lokal bergantung pada pertanian, perikanan dan sumber air bersih,” kata Direktur Eksekutif, YASMIB Sulawesi, Rosniaty Panguriseng.

Rosniaty menekankan, moratorium bukanlah sebuah langkah anti investasi. Melainkan upaya perbaikan di tengah banyaknya izin tak sebanding dengan pengawasan serta daya dukung lingkungan.

“Moratorium izin tambang merupakan langkah menyelamatkan masa depan Sulawesi
Selatan agar pembangunan tidak menukar kesejahteraan rakyat dengan kerusakan
lingkungan. Langkah ini adalah jeda cerdas untuk menyelamatkan ruang hidup rakyat, menata ulang izin, dan memastikan pembangunan berjalan adil dan hijau,” tegasnya.

Di Sulawesi Tenggara (Sultra), moratorium izin tambang secara menyeluruh penting
dilakukan. Bukan tanpa sebab. Dorongan moratorium berlandaskan pada substansi persoalan terjadi di daerah tambang.

Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (LePMIL) Sultra menekankan hal tersebut.

“Carut marutnya tata kelola pertambangan dari hulu hingga ke hilir, dari perizinan
sampai pada penerimaan negara hingga daerah penghasil berdampak sistemik pada
berbagai sektor sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal/adat, lingkungan,
pelanggaran HAM, korupsi hingga pada keberlanjutan hidup antar generasi. Situasi
darurat lingkungan dan sosial ini tidak ada alasan untuk solusi konkret. Oleh karenanya
negara harus segera melakukan moratorium operasi pertambangan di Sulawesi, Maluku
dan Papua,” kata Direktur LePMIL Sultra, Solihin.

Solihin juga memberikan seruan kepada anggota legislatif di daerah dan pusat agar
mendukung atau ikut mendorong moratorium izin tambang, sebagai bentuk keberpihakan nyata kepada rakyat dengan mendukung percepatan percepatan pelaksanaan moratorium.

Perwakilan masyarakat Halmahera Selatan (Halsel), menyuarakan pentingnya
moratorium pertambangan. Sebagai masyarakat di daerah pertambangan, sebagai
masyarakat terdampak langsung aktivitas pertambangan, moratorium pertambangan
harus dilakukan. Bersamaan dengan urgensi moratorium, masyarakat terdampak
berharap pemulihan lingkungan.

“ Moratorium ini diharapkan untuk masyarakat. Karena kalau kita lihat, lingkungan kita
sudah mulai rusak. Harapan masyarakat terdampak, pencabutan izin bukan hanya
sementara saja. Kalau pun moratorium, harus ada perbaikan. Karena kebanyakan ini
(tambang) sudah mengakibatkan kerugian masyarakat. Rumah sudah digusur merugikan kami. Kami berharap pemerintah serius memperhatikan masyarakat,” kata
salah satu warga Halsel dalam diskusi tersebut.

Dorongan moratorium juga datang dari Papua, yakni PERDU — perkumpulan pengembangan masyarakat dan konservasi sumber daya alam. Moratorium izin tambang sangat diperlukan dalam konteks situasi pertambangan hari ini.

“Berdasarkan berbagai kasus pertambangan seperti nikel di Raja Ampat, pertambangan
tanpa izin di Manokwari, Pegunungan Arfak, Tambrauw, dan adanya rencana pertambangan di wilayah lainnya. Maka dipandang perlu dilakukan moratorium izin tambang dan mendorong kebijakan hukum dan teknisnya, baik pusat maupun di daerah dan juga restrukturisasi kewenangan, demi dan dengan menjamin pengakuan hak-hak
masyarakat adat dan berwawasan ekologis serta berkelanjutan,” kata Risdianto.***