JAKARTA – Di tengah pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia yang mencapai 223,26 juta atau 78,3 persen dari populasi, isu pemerataan akses digital dan dominasi raksasa teknologi menjadi perhatian serius berbagai pihak.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring bertajuk “Digitalisasi Ekonomi: Mengenal Potensi Web3 dalam Mendorong Kesejahteraan” yang diselenggarakan oleh Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia, dan Kementerian Hukum dan HAM RI, Selasa (7/10).
Diskusi ini menghadirkan Ketua Perkumpulan Lembaga INDEKS Nanang Sunandar dan Kepala Pemasaran Konten Xellar sekaligus pembuat konten Web3, Ajeng, dengan moderator Dedi Irawan dari Lembaga INDEKS.
Tujuan kegiatan tersebut untuk mengkaji hubungan antara kebebasan ekonomi, digitalisasi, dan kesejahteraan, serta memperkenalkan konsep Web3 dan desentralisasi kepada masyarakat luas.
Dalam sambutan pembuka, Analis Hukum Biro Perencanaan dan Kerja Sama Kemenham RI, Erlangga Kristanto, menekankan pentingnya menempatkan manusia sebagai pusat dalam transformasi digital.
“Kami meyakini digitalisasi ekonomi ini bukan semata tentang teknologi melainkan tentang manusia. Ini harus digarisbawahi,” ujarnya.
Ia berharap diskusi ini dapat menumbuhkan pemahaman lintas sektor dalam membangun ekosistem digital yang setara, aman, dan berkeadilan.
Sementara itu, Program Officer FNF Indonesia, Elgawaty Samosir, menilai pembahasan tersebut sejalan dengan pemikiran global yang menekankan peran inovasi digital bagi kesejahteraan.
“Teknologi berkaitan dengan demokrasi dan partisipasi warga. Kita sedang berjalan selaras dengan pemikiran global tentang bagaimana inovasi digital dapat menjembatani kesejahteraan dan kebebasan,” katanya.
Narasumber pertama, Nanang Sunandar, menjelaskan bahwa kebebasan ekonomi merupakan hak setiap individu untuk melakukan aktivitas ekonomi dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sendiri.
“Jika masyarakat bebas menggunakan apa yang dimilikinya untuk kepentingannya, maka itu akan menghasilkan kesejahteraan bagi dirinya. Unit primer dalam kebebasan ekonomi adalah individu, bukan kelompok,” tutur Nanang.
Sementara Ajeng memaparkan transformasi teknologi dari Web1 hingga Web3. Menurutnya, Web3 hadir bukan untuk menggantikan generasi sebelumnya, melainkan memberi nilai tambah melalui sistem yang lebih terbuka, transparan, dan terdesentralisasi.
Ia menyebut empat ciri utama Web3, yakni tidak adanya otoritas tunggal, verifikasi publik atas transaksi, kepemilikan aset digital oleh pengguna, dan sistem insentif berbasis token.
“Peluang karier di Web3 bukan hanya di bidang teknologi, tapi juga di konten, pemasaran, hukum, dan manajemen proyek,” jelasnya.
Ajeng menutup pemaparannya dengan menegaskan bahwa Web3 adalah cara baru membangun kepercayaan dan kepemilikan.
“Web3 bukan cuma soal teknologi baru, tapi cara baru kita membangun kepercayaan, kepemilikan, dan masa depan yang lebih adil,” ujarnya.
Menutup diskusi, moderator Dedi Irawan menyampaikan bahwa kegiatan ini diharapkan dapat merumuskan arah partisipasi Indonesia dalam ekonomi digital yang inklusif dan desentralistik.
“Diskusi ini penting untuk mengurai kompleksitas, mengidentifikasi peluang nyata, dan merumuskan peta jalan partisipasi Indonesia dalam ekonomi digital masa depan,” pungkasnya. **
Reporter: Mun