Oleh: Teofilus Mian Parluhutan*

Pusaran geopolitik global kini semakin dinamis dan dengan konflik yang kian meruncing. Cakupan ancaman bagi pertahanan nasional tidak hanya bermakna ancaman militer, melainkan nir militer. Kondisi seperti ini meciptakan lanskap baru yang penuh peluang sekaligus ancaman seperti persoalan globalisasi ekonomi, revolusi teknologi, dan geopolitik AI. Pertahanan tidak lagi sebatas urusan medan perang, melainkan juga mencakup dimensi digital, energi, kesehatan, budaya, hingga ketahanan pangan. Begitu pula pembangunan ekonomi, tidak lagi bisa dipisahkan dari stabilitas keamanan nasional dan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks inilah gagasan harmonisasi sipil-militer menemukan relevansinya. Sebuah konsep yang mengajak kita melihat pertahanan dan ekonomi bukan sebagai dua hal yang terpisah, melainkan sebagai dua sisi dari koin yang sama.

Seperti burung garuda yang menjadi lambang negara, Indonesia hanya bisa terbang tinggi bila kedua sayapnya mengepak seimbang. Satu sayap adalah kekuatan sipil: ekonomi, diplomasi, masyarakat, dan inovasi. Sayap lainnya adalah kekuatan militer: penjaga kedaulatan, benteng pertahanan, dan simbol ketangguhan. Jika salah satu sayap patah, garuda akan limbung. Jika keduanya mengepak harmonis, ia akan melesat gagah menembus badai.

Harmonisasi sipil-militer menjadi fondasi ganda: menjaga kedaulatan dan mempercepat kemajuan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Pertahanan Tanpa Ekonomi adalah Rapuh, Ekonomi Tanpa Pertahanan adalah Hampa

Teori keamanan komprehensif (Comprehensive Security) mengingatkan kita bahwa pertahanan tidak berdiri sendiri. Ia selalu terkait erat dengan faktor ekonomi, politik, teknologi, hingga budaya. Pertahanan tidak hanya soal senjata, melainkan pangan, energi, teknologi, dan daya saing industri. Sementara konsep lain seperti Security-Development Nexus menggarisbawahi bahwa keamanan stabil adalah prasyarat investasi dan pertumbuhan ekonomi; sebaliknya, pembangunan memperkuat kapasitas negara untuk mempertahankan diri. Dengan kerangka ini,, harmonisasi sipil-militer adalah syarat bagi keamanan nasional yang berkelanjutan dan sekaligus motor penggerak pembangunan ekonomi.

Penerapan harmonisasi sipil-militer kita bisa belajar dari case berbagai negara. Pasca Perang Korea, negara ini berada di jurang kehancuran. Namun, pemerintah sipil dan militer tidak hanya berfokus pada aspek pertahanan, melainkan juga mendorong industrialisasi. Militer turut terlibat dalam pembangunan infrastruktur dasar serta mendukung riset teknologi strategis. Sinergi ini mengantarkan Korea Selatan menjadi kekuatan ekonomi dunia, sekaligus tetap waspada terhadap ancaman dari Korea Utara.

Contoh lain datang dari Turki yang membuat catatan menarik. Meski relasi sipil-militernya kerap diwarnai ketegangan politik, militer Turki berhasil berkontribusi pada industri pertahanan domestik yang kini menjadi salah satu yang paling berkembang di dunia. Teknologi drone Bayraktar, misalnya, bukan hanya memperkuat pertahanan Turki, tetapi juga membuka pasar ekspor yang memperkuat ekonomi nasional. Turki memperlihatkan bagaimana militer ikut mendorong pembangunan infrastruktur strategis. Sinergi ini menjadikan Turki bukan hanya kekuatan militer regional, tetapi juga pemain penting dalam rantai industri pertahanan dunia.

Sementara Tiongkok memperkenalkan sistem dual-use atau Military-Civil Fusion (MCF) sebagai strategi nasional dalam harmonisasi sipil-militer. Strategi ini dipilih Tiongkok untuk menghapus batas sektoral antara industri pertahanan dan industri sipil, mengarahkan riset universitas, perusahaan, dan institusi negara agar mendukung modernisasi militer dan kapasitas teknologi nasional. Hasilnya MCF membantu Tiongkok memangkas gap teknologi, menopang program modernisasi militer, dan mendorong kapasitas produksi industri strategis. Kini Tiongkok tercatat sebagai negara yang paling inovatif dalam perkembangan Artificial Intellegence (AI).

Contoh berikutnya datang dari negara Tetangga, yakni Singapura. Singapura mengembangkan konsep Sistem Pertahanan Total (Total Defence), di mana pertahanan tidak hanya urusan militer, tetapi juga masyarakat sipil, ekonomi, psikologis, hingga sosial-budaya. Dengan populasi kecil dan keterbatasan sumber daya, Singapura menyadari bahwa hanya melalui harmonisasi menyeluruh antara sipil dan militer, mereka bisa bertahan. Kini, Singapura bukan hanya negara dengan militer modern, tetapi juga pusat ekonomi global.

Dari Turki dan Korea Selatan kita bisa belajar bahwa harmonisasi sipil-militer dapat menjadi pondasi membangun industrialisasi modern di Indonesia. Industrialisasi memiliki makna penting untuk menapaki tahapan sejarah Indonesia untuk menjadi negara maju. Sementara dari Singapura kita bisa melihat bahwa konsep sistem pertahanan yang menyeluruh bukan hanya menempatkan militer untuk menjaga keamanan melainkan kehadiran militer turut vital sebagai komponen penting untuk memajukan perekonomian nasional.

Sementara dari Tiongkok Indonesia bisa belajar untuk mengelaborasi riset teknologi strategis yang memiliki multiplier effect. Indonesia perlu membedakan model top-down dan koordinasi terpusat yang dimiliki oleh Tiongkok, dengan kondisi di Indonesia untuk menjaga keseimbangan demokrasi. Dari Tiongkok Indonesia perlu mengambil inti point mengenai integrasi riset sebagai padanan utama dari praktek yang dimiliki Tiongkok, bukan pendekatan otoriter. Dengan demikian, mekanisme akuntabilitas dan pengawasan sipil tetap diperhatikan untuk menghindari penyelewengan. Dari Tiongkok kita belajar betapa cepatnya teknologi dan industri bisa dimobilisasi jika ada integrasi yang kuat, dengan tetap menggarisbawahi pelajaran terbesar bagi demokrasi bahwa kecepatan tidak boleh menukar tempat dengan legitimasi.

Indonesia perlu menemukan jalan untuk harmonisasi sipil-militer sebagai tahapan pendewasaan berbangsa dan bernegara. Relasi sipil-militer tidak selalu dimaknai dikotomis dan dibelah-belah yang efeknya dapat melemahkan tatanan sosial dalam bernegara, melainkan menuju pendewasaan dan proporsional serta kontekstual dalam menempatkan relasi sipil dan militer untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Bersatu untuk Negeri

Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi ancaman yang berlapis: konflik perbatasan, kejahatan transnasional, bencana alam, hingga serangan siber. Di saat yang sama, Indonesia bercita-cita menjadi negara maju dengan ekonomi inklusif dan berkelanjutan.
Harmonisasi sipil-militer dapat menjadi pilar yang meneguhkan negara: perisai yang tak hanya menangkis ancaman, tetapi juga fondasi untuk pembangunan ekonomi yang merata dan berkelanjutan. Harmonisasi sipil-militer adalah fondasi agar Indonesia bukan hanya tangguh menghadapi ancaman, tetapi juga berdaulat dalam menciptakan kesejahteraan.

Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada bangsa besar yang maju hanya dengan kekuatan militer, begitu pula tidak ada bangsa yang sejahtera tanpa fondasi pertahanan yang kuat. Harmoni sipil-militer pada akhirnya bukan hanya strategi keamanan, tetapi juga strategi peradaban. Ia adalah cara untuk menjembatani dua kebutuhan mendasar bangsa: kedaulatan dan kemakmuran.

Indonesia sedang menapaki jalan panjang menuju negara maju. Untuk mencapainya, kita tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan ekonomi tanpa pertahanan, atau sebaliknya, hanya bertumpu pada militer tanpa pembangunan. Yang dibutuhkan adalah sinergi sejati: sipil dan militer berjalan bersama, saling menopang, dan saling menguatkan.

Sejarah membuktikan bahwa bangsa yang kuat selalu mampu menjaga keseimbangan antara keduanya. Jepang, Korea Selatan, hingga Singapura adalah contoh nyata. Indonesia dengan segala potensi dan tantangannya memiliki kesempatan untuk merumuskan model harmonisasi sipil-militer yang khas, sesuai dengan nilai demokrasi Pancasila. Untuk itu bersatu untuk negeri harus menjadi working ideologi dan strategi untuk menjaga dan membawa kemajuan bangsa Indonesia.

*Penulis adalah Sekjend Front Marhaenis Indonesia