SIGI – Sejumlah wartawan di Kabupaten Sigi mempertanyakan klaim Kepala Bagian Humas Pemkab Sigi, Panji, yang menyebut pembentukan pressroom dilakukan atas kesepakatan media. Menurut mereka, tidak pernah ada forum resmi yang melibatkan seluruh jurnalis dalam penunjukan koordinator pressroom. Hingga kini, para jurnalis masih mempertanyakan kapan pembentukan itu dilakukan dan siapa yang sebenarnya memilih.
Hasan Tura, jurnalis Bahana Indonesia, menilai klaim tersebut membingungkan. “Kami kaget tiba-tiba sudah ada pressroom lengkap dengan koordinatornya. Padahal, tidak pernah ada rapat atau forum bersama wartawan di Sigi untuk membicarakan hal itu. Jadi jangan disebut sebagai hasil kesepakatan,” ujarnya.
Hasan menegaskan pembentukan pressroom seharusnya dilakukan secara terbuka. “Kalau prosesnya sepihak lalu disebut kesepakatan bersama, itu bisa menimbulkan kesalahpahaman publik. Pressroom harus menjadi rumah semua media, bukan kelompok tertentu,” tambahnya.
Jurnalis senior Said Gasalele juga menyoroti minimnya transparansi. “Koordinator pressroom itu siapa yang menunjuk? Kami tidak pernah dilibatkan. Ini berpotensi mengganggu solidaritas wartawan di Sigi,” katanya.
Hal senada diungkapkan Darwis Ali Damang. Ia menekankan bahwa pressroom bukan hanya sekadar ruangan, melainkan instrumen penting untuk memperkuat transparansi informasi.
“Di banyak daerah, pemilihan koordinator pressroom selalu dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan semua jurnalis. Kalau ada penunjukan langsung, tentu menimbulkan tanda tanya. Media adalah pilar keempat demokrasi. Jika ruang pers dibatasi hanya untuk media tertentu, fungsi kontrol sosial bisa melemah,” tegasnya.
Darwis menambahkan, Humas seharusnya berperan sebagai fasilitator. Harus ada pertemuan resmi yang melibatkan seluruh wartawan. Dengan begitu, keputusannya lebih demokratis dan bisa diterima semua pihak.
Senada dengan itu, wartawan Agus menyatakan media tempatnya bekerja sama sekali tidak pernah dilibatkan.
“Sejauh ini tidak ada pemberitahuan ataupun undangan resmi. Seyogyanya pressroom harus bisa mengakomodir semua insan pers, bukan hanya sebagian,” ujarnya.
Kritik juga datang dari jurnalis Corong Sulawesi, Awaludin, yang menekankan pentingnya mekanisme pemilihan yang terbuka.
“Pressroom bukan sekadar dibentuk atau ditunjuk. Harus ada proses pemilihan yang melibatkan semua wartawan yang bertugas di Sigi. Dengan begitu, pressroom benar-benar menjadi wadah bersama,” ucapnya.
Sejumlah jurnalis lain di Sigi juga menyuarakan hal serupa. Mereka mendesak Pemkab Sigi membuka ruang dialog dan menata ulang mekanisme pembentukan pressroom. Para wartawan menegaskan, keberadaan pressroom tidak boleh menjadi alat kontrol pemerintah terhadap media, melainkan wadah bersama yang menjamin kebebasan pers serta akses informasi publik yang setara.