SIGI – Akademisi Universitas Tadulako (Untad) Palu, Ratu Ratna Korompot, mengisi kegiatan sosialisasi stop bullying dan moderasi beragama di SMA BK Kalawara, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Rabu (27/8) pagi.
Dalam paparannya, Ratna menjelaskan secara mendasar bullying, pelaku bully, dan istilah perundungan dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, bullying adalah tindakan yang merugikan korban, sedangkan pelaku disebut bully, sementara istilah perundungan merupakan padanan dalam bahasa Indonesia.
“Bullying bukan hanya terjadi di lingkungan anak-anak atau sekolah, tapi juga bisa terjadi di dunia kerja, organisasi, keluarga, bahkan dalam hubungan rumah tangga. Dampaknya serius bagi korban, mulai dari depresi, kecemasan, stres, hingga pada tingkat terparah dapat memunculkan keinginan untuk mengakhiri hidup,” jelasnya.
Ratna juga menyoroti ciri-ciri perilaku bully yang kerap muncul, di antaranya agresif, dominan, kurang empati, suka mencari perhatian, hingga manipulatif. Bahkan, yang berbahaya adalah pelaku dengan gangguan kepribadian, yang ditandai dengan sikap superior, kurang empati, dan manipulatif.
Lebih lanjut ia merinci bahwa jenis bullying, yakni verbal seperti meledek, mencaci, mengancam. Pada aspek sosial (mengucilkan, mempermalukan, menyebar fitnah), cyberbullying (menyakiti lewat media digital), dan fisik (memukul, merusak barang, hingga pelecehan seksual). Keempat jenis tersebut, kata Ratna, sama-sama berbahaya karena dapat menimbulkan luka mental maupun fisik yang berat.
“Pelaku bully bisa dijerat pidana sebagai tindak kekerasan dan juga dituntut perdata untuk ganti rugi. Namun, yang terpenting adalah keberanian korban untuk bersuara. Hukum akan berjalan bila ada laporan,” tegas Ratna.
Saat yang sama Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sigi Sofyan Nur, dalam penjelasannya soal moderasi beragama, pentingnya menanamkan nilai-nilai moderasi beragama sejak usia pelajar.
Menurutnya, pemahaman moderasi beragama yang baik sejak dini akan menjadi benteng bagi generasi muda agar tidak mudah terjebak pada kesalahpahaman, intoleransi, maupun tindakan saling merendahkan hingga membuli teman sebaya.
“Moderasi beragama itu harus dipahamkan sejak sekolah, agar anak-anak tumbuh dengan sikap saling menghargai. Dengan begitu mereka bisa menjadi generasi yang dewasa dalam beragama, mampu hidup rukun, dan tidak mudah terprovokasi oleh perbedaan,” ujar Sofyan Nur.
Ia menambahkan, pencegahan dini terhadap praktik perundungan di sekolah maupun di lingkungan sosial sangat penting untuk melahirkan generasi masa depan yang berkarakter, bijak, dan siap menjaga persatuan bangsa.
“Kalau sejak muda mereka terbiasa menghargai perbedaan, maka ke depan bangsa ini akan lebih kokoh, harmonis, dan damai,” tegasnya.