PALU – Perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bukan semata konsep manajemen risiko bagi kalangan mampu, melainkan kebutuhan seluruh pekerja tanpa memandang usia dan latar belakang.

Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sulawesi Tengah, Luky Julianto menegaskan bahwa risiko sakit, kecelakaan, bahkan kematian dapat menimpa siapa saja, sehingga perlindungan sosial menjadi ikhtiar penting untuk menjaga stabilitas ekonomi keluarga.

Menurut Luky, salah satu persoalan utama saat ini adalah rendahnya kepatuhan pelaku usaha mikro dalam mendaftarkan pekerjanya ke dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal, kewajiban itu telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

“Rata-rata perusahaan kecil, menengah, dan besar sudah patuh. Yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah sektor mikro,” ujar Luky di Palu, Jumat (22/8).

Berdasarkan data per 21 Agustus 2025, jumlah pekerja penerima upah (PU) yang telah terlindungi mencapai 338.080 orang. Sementara itu, untuk pekerja bukan penerima upah (BPU) tercatat 156.255 orang, serta peserta dari sektor jasa konstruksi sebanyak 38.345 orang.

Luky menegaskan, sektor penerima upah formal masih mendominasi, namun sektor informal masih memiliki ruang besar untuk ditingkatkan.

Dalam APBD Perubahan 2025, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menganggarkan perlindungan bagi 100.402 pekerja rentan. Program ini ditujukan bagi masyarakat yang aktivitas pekerjaannya berisiko tinggi namun tidak mampu membayar iuran.

“Pekerja rentan diambil alih oleh pemerintah melalui APBDP, sehingga mereka tetap mendapatkan perlindungan,” jelas Luky.

Selain itu, BPJAMSOSTEK juga mendorong program Sertakan yang memungkinkan perusahaan mendaftarkan pekerja informal di sekitar lingkungannya, seperti asisten rumah tangga, sopir, atau tukang kebun. Program tersebut diharapkan memperluas cakupan perlindungan secara nasional karena proses pendaftaran bisa dilakukan lintas daerah.

Luky juga menegaskan manfaat konkret yang bisa dirasakan peserta. Jaminan kecelakaan kerja, misalnya, menanggung perawatan kelas satu rumah sakit pemerintah hingga sembuh tanpa batasan biaya. Peserta juga berhak atas penggantian upah selama tidak bekerja, santunan cacat, santunan kematian sebesar 48 kali gaji, serta beasiswa bagi dua anak yang ditinggalkan.

“Ini bentuk kepastian hukum agar pekerja dan keluarganya tidak terbebani,” tegasnya.

Meski manfaatnya besar, BPJAMSOSTEK masih menghadapi tantangan rendahnya kesadaran masyarakat. Untuk itu, pihaknya menyiapkan strategi edukasi, reaktivasi kepesertaan nonaktif, hingga mekanisme penegakan hukum bagi perusahaan melalaikan kewajiban.

Pelanggaran bisa berujung pada sanksi administratif berupa tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu (TMP2T) sebagaimana diatur dalam PP 86/2013.

“Prinsipnya, pemerintah ingin usaha tumbuh tanpa harus khawatir ketika terjadi kecelakaan kerja atau musibah meninggal dunia. Biaya yang besar tidak lagi membebani perusahaan atau keluarga, tetapi menjadi tanggung jawab BPJAMSOSTEK. Dengan begitu, pelaku usaha bisa fokus pada pengembangan usahanya,” tutup Luki.