PALU- Kepala Bidang Perencanaan dan pengembangan infrastruktur kewilayahan Bappeda Provinsi, Subhan Basir secara resmi membuka pelatihan pelaporan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menggunakan aplikasi Aksara, bertempat di Hotel Santika, Jalan Moh Juanda, Kota Palu, Kamis (21/8).

Dalam sambutanya, Subhan Basir mengatakan, kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari amanat Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang SEJMN 2025–2029. Regulasi tersebut menegaskan bahwa pembangunan rendah karbon (PRK) menjadi bagian dari kontribusi Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) guna menekan kenaikan suhu global, perubahan iklim, serta dampak ditimbulkan.

“PRK adalah upaya pembangunan berkelanjutan dengan mengurangi emisi GRK dan meminimalkan eksploitasi sumber daya alam. PRK juga merupakan komitmen Indonesia dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan ke-13 yaitu aksi terhadap perubahan iklim,” katanya.

Subhan mengatakan, Bappeda Sulawesi Tengah telah menyelesaikan RPJPD 2025–2045 yang ditetapkan melalui Perda Nomor 9 Tahun 2024. Visi pembangunan daerah adalah Sulawesi Tengah sebagai wilayah pertanian dan industri berbasis sumber daya alam yang maju, sejahtera, dan berkelanjutan. Kata berkelanjutan menegaskan bahwa perencanaan 20 tahun ke depan harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.

“Indikator visi tersebut adalah penurunan emisi GRK menuju net zero emission, yang berarti penurunan emisi dilaksanakan beriringan dengan pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Lebih lanjut kata Subhan, Pemerintah daerah juga menempatkan ekonomi hijau melalui PRK dan ketahanan iklim sebagai bagian dari transformasi pembangunan Sulawesi Tengah.
Saat ini, pemerintah daerah berpacu dengan penetapan rancangan RTRW 2025–2029 di setiap kabupaten/kota.

“Provinsi Sulawesi Tengah sendiri tengah menunggu tahapan akhir penetapan RTRW untuk selanjutnya disahkan.

Selain itu, RPJMD 2025–2029 juga memuat visi yang sejalan dengan RPJPD, yakni penurunan emisi GRK menuju net zero emission. Indikator tersebut merupakan mandat nasional yang diturunkan hingga ke daerah,” ujarnya.

Program Manager RBP GCF REDD+ Sulteng Edy Wicaksono mengatakan, aplikasi AKSARA merupakan aplikasi dikembangkan oleh Bappenas untuk mendukung pelaporan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Aplikasi ini digunakan oleh pemerintah daerah, khususnya Bappeda kabupaten dan kota, sebagai instrumen dalam memasukkan data terkait capaian penurunan emisi.

“Melalui pelatihan, staf Bappeda diharapkan mampu membuat laporan GRK secara mandiri. Target utama dari aplikasi ini adalah membangun sistem basis data nasional memuat informasi mengenai tingkat penurunan emisi GRK secara terintegrasi,” tutur Edy.

Edy mengatakan, kegiatan pelatihan tersebut berkaitan erat dengan proyek RBP GCF (Result Based Payment – Green Climate Fund). GCF merupakan lembaga keuangan internasional yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menghimpun dan menyalurkan dana iklim.

“Indonesia, karena kontribusinya dalam penurunan emisi global, mendapatkan insentif berupa kompensasi keuangan. Sulawesi Tengah menjadi salah satu penerima manfaat, dengan alokasi dana sekitar Rp43 miliar digunakan untuk mendukung berbagai program lingkungan,” tuturnya.

Edy mengatakan, dana tersebut dialokasikan untuk tujuh ruang lingkup kegiatan, antara lain rehabilitasi hutan dan lahan, pengelolaan hutan lestari, pemberdayaan masyarakat, penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), penguatan komunitas iklim, serta penyusunan instrumen dan kebijakan REDD+ di tingkat daerah.

“Pemilihan wilayah prioritas, termasuk Sulawesi Tengah, didasarkan pada potensi hutan masih cukup baik serta tingkat kerentanan terhadap aktivitas yang berisiko menimbulkan emisi,” katanya.

Lebih lanjut Edy mengatakan, secara kebijakan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan komitmen kuat terhadap pembangunan hijau. Hal ini tercermin dalam dokumen RPJMD, rencana pembangunan berkelanjutan, serta instrumen kebijakan lainnya yang diarahkan untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.

“Di tingkat lapangan, sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) juga melaksanakan program yang memberikan kontribusi nyata terhadap pengurangan emisi, meskipun dukungan pendanaan dari proyek seperti RBP GCF sangat membantu memperkuat implementasi,”katanya.

Edy menambahkan, isu kehutanan yang menonjol di Sulteng antara lain, lahan kritis akibat deforestasi, aktivitas tambang, perkebunan kelapa sawit, serta potensi karhutla di beberapa wilayah seperti Poso, Morowali Utara, dan Tojo Una-Una. Jika dibandingkan, kerusakan akibat industri tambang dan perkebunan skala besar dinilai lebih signifikan dibandingkan penebangan oleh masyarakat.

“Dengan dukungan dana Rp43 miliar selama dua tahun, diharapkan kinerja penurunan emisi dapat tercapai secara optimal sehingga membuka peluang tambahan insentif internasional di masa mendatang,” katanya.