PALU– Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Sulawesi Tengah menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Selasa (19/8).
Massa aksi menargetkan bertemu langsung dengan Gubernur Sulawesi Tengah untuk menyampaikan tuntutan, namun gubernur tidak hadir dan hanya diwakili Kepala Biro Hukum, Adiman.
Koordinator Aksi, Sandi, menilai tingginya angka kemiskinan di Sulawesi Tengah menunjukkan kegagalan pemerintah daerah dalam menjamin kesejahteraan rakyat.
“Kami melihat belum ada langkah serius dan terukur dalam mengatasi kemiskinan. Pemerintah daerah sibuk dengan proyek pembangunan fisik, tapi abai terhadap pembangunan sosial berdampak langsung bagi rakyat,” ujar Sandi di sela aksi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2025 persentase penduduk miskin Sulteng berada di angka 10,92% atau sekitar 356,19 ribu jiwa. Angka ini memang turun tipis 0,12 persen poin dibandingkan September 2024, namun kondisi di lapangan menunjukkan ratusan ribu warga masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Selain itu, ketimpangan desa-kota masih terasa nyata. Beberapa daerah justru mencatat angka kemiskinan lebih tinggi, di antaranya Tojo Una-Una (18,41%), Sigi (16,96%), dan Parigi Moutong (16,48%).
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyampaikan enam tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terkait persoalan kemiskinan. Pertama, mereka mendesak pembentukan Satgas Pengentasan Kemiskinan dengan mandat langsung dari gubernur serta melibatkan masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa, dan organisasi rakyat. LMND juga menuntut agar 100 persen rumah tangga miskin menerima bantuan sosial sesuai Data Terpadu Sosial Nasional (DTSN/DTKS). Selain itu, mereka meminta penghentian ketimpangan pembangunan desa-kota dengan fokus pada kantong-kantong kemiskinan seperti Tojo Una-Una, Sigi, dan Parigi Moutong. Tuntutan lainnya adalah optimalisasi dana CSR perusahaan tambang, perkebunan, dan kehutanan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi rakyat. LMND juga mendorong adanya sistem monitoring partisipatif yang melibatkan rakyat, akademisi, dan organisasi sipil agar program pengentasan kemiskinan bisa dipantau secara transparan. Terakhir, mereka mendesak agar praktik birokrasi diskriminatif dalam penyaluran bansos dihentikan dan memastikan bantuan tidak dijadikan alat politik menjelang pemilu.
LMND Sulawesi Tengah menegaskan bahwa kemiskinan yang masih tinggi bukanlah takdir, melainkan akibat dari kebijakan yang salah arah.
“Kemiskinan bukan takdir, tapi buah dari kebijakan timpang. Selama pemerintah lebih berpihak pada korporasi ketimbang rakyat kecil, selama itu pula rakyat Sulawesi Tengah akan terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan,” tegas LMND dalam pernyataannya.
Organisasi mahasiswa itu juga menyerukan agar seluruh elemen mahasiswa, buruh, petani, dan rakyat tertindas di Sulawesi Tengah bersatu dan mendesak pemerintah untuk lebih serius mengentaskan kemiskinan di daerah.
Aksi berlangsung memanas ketika salah satu peserta hendak membakar ban dicegah aparat.**