PALU- Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tadulako menilai bahwa kebijakan kenaikan PBB di Kota Palu tidak hanya memberatkan rakyat, tetapi juga minim transparansi, tidak dilakukan secara bertahap, serta tidak memberikan perlindungan kepada kelompok rentan.
“Kenaikan 1000 persen dinilai tidak adil dan jauh dari prinsip partisipatif dalam perumusan kebijakan publik. Terlebih lagi, klaim bahwa masyarakat, diuntungkan perlu dikaji ulang secara jujur dan faktual,” kata Ketua Umum BEM Fakultas Hukum
Febriansya, di Palu, Ahad (17/8).
Oleh karena itu, kata Febriansya BEM Fakultas Hukum Untad secara terbuka mengundang Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid untuk berdialog bersama rakyat. Undangan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab dan kontrol sosial dari mahasiswa terhadap kebijakan publik dianggap bermasalah.
Harapannya, kata Febriansya melalui dialog terbuka, pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan kenaikan NJOP dan PBB secara menyeluruh, memperjelas argumen kebijakan dinilai merugikan, serta menetapkan langkah-langkah lebih adil dan berpihak kepada kepentingan masyarakat Kota Palu.
Hal tersebut merespon, Pemerintah Kota Palu, melalui pernyataan resmi Wakil Wali Kota Imelda Liliana pada 14 Agustus 2025, mengakui bahwa telah terjadi pemutakhiran NJOP di beberapa wilayah, menyebabkan kenaikan PBB hingga mencapai 1000 persen.
Menurutnya, pembaruan tersebut didasarkan pada perkembangan wilayah, seperti perubahan fungsi lahan kosong menjadi bangunan bertingkat atau tempat usaha. Namun, pernyataan bahwa kenaikan NJOP membawa “keuntungan” bagi masyarakat menimbulkan polemik di tengah kondisi ekonomi belum pulih sepenuhnya.
Pernyataan tersebut dinilai tidak menunjukkan empati terhadap masyarakat, sedang menghadapi tekanan ekonomi pasca bencana dan pemulihan pasca pandemi. Banyak warga mengeluhkan lonjakan signifikan dalam tagihan PBB mereka. Salah satu contohnya adalah warga, sebelumnya membayar Rp531.000 pada 2024, namun kini harus membayar Rp5.100.000 pada 2025.
Kenaikan sangat drastis tersebut dianggap tidak wajar dan menyulitkan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan tetap atau rendah.
Lebih lanjut, pernyataan Wakil Wali Kota menyebutkan bahwa sosialisasi telah dilakukan namun tidak semua wajib pajak berada di tempat tinggal saat itu, menimbulkan pertanyaan besar.
Sosialisasi kebijakan publik seharusnya dilakukan secara menyeluruh, inklusif, dan menggunakan berbagai media informasi agar seluruh lapisan masyarakat mendapatkan informasi memadai. Ketidakhadiran wajib pajak di rumah seharusnya bukan alasan lemahnya penyampaian kebijakan berdampak luas.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebelumnya, mengimbau agar kepala daerah tidak mengeluarkan kebijakan pajak memberatkan masyarakat. Tito menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menetapkan NJOP serta pelaksanaan sosialisasi cukup waktu, dengan tujuan agar masyarakat memiliki waktu, bersiap terhadap kebijakan baru. Penetapan pajak secara tiba-tiba tanpa tahapan jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dan asas keberpihakan kepada rakyat. ***