PALU – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tengah menggelar Gelar Sharing Hukum (Gelar SH) secara virtual, Kamis (14/8) pagi. Dialog episode pertama ini mengangkat tema “Putusan MK Pemisahan Pemilu Tingkat Nasional dan Pemilu Tingkat Daerah Digugat! Bisakah?”.

Acara menghadirkan dua narasumber, yakni Akademisi UIN Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden, S.Ag., SH., MH., serta Dr. Rudiyati Doreta Tobing, SH., S.Hum. Kegiatan dibuka langsung oleh Anggota KPU Sulteng Divisi Hukum dan Pengawasan, Darmiati, SH.

Dalam pemaparannya, Dr. Sahran Raden menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 yang mengatur pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu daerah. Menurutnya, putusan tersebut mengandung potensi pertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 22E yang mengatur pemilihan anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

“Putusan MK ini saya nilai tidak selaras dengan konstitusi. Karena itu, jika ada warga yang mengajukan gugatan atau uji materi kembali, saya sepakat, paling tidak untuk mengubah atau memperbaikinya,” ujarnya.

Ia menjelaskan, Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 memuat tiga hal pokok yakni penentuan jarak waktu antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal atau paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden atau anggota DPR.

Sahran juga menilai, MK dalam putusan ini cenderung melampaui kewenangannya sebagai negative legislator yang seharusnya hanya membatalkan norma dengan merumuskan norma baru layaknya positive legislator.

“Eksistensi MK mestinya menjaga kemurnian konstitusi, bukan menetapkan norma baru yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Putusan ini menunjukkan adanya pergeseran peran MK,” tegasnya.

Lebih jauh, Sahran menyinggung bahwa pemilu serentak lima kotak seperti di 2019 dan 2024 cenderung melemahkan kelembagaan partai politik, mempersulit kampanye calon legislatif, serta menurunkan kualitas kedaulatan rakyat.

“Fokus masyarakat lebih banyak pada pemilihan presiden dan wakil presiden, sehingga calon DPRD provinsi maupun kabupaten/kota kurang dikenal,” imbuhnya.