Kompo, sebuah dataran seluas 13 hektar terdapat hutan kopi yang sarat akan sejarah tentang masyarakat adat Desa Katu. Desa yang terdapat situs megalitik watumeboku itu, secara administrasi masih dalam cakupan wilayah Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso.
Kompo dulunya adalah wilayah perkampungan masyarakat Desa Katu yang kini menjadi hutan kopi. Kehidupan sehari-hari masyarakat adalah bertani untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.
Hutan kopi melawati ilalang yang disebut Padang Rante itu, dahulunya adalah pemukiman warga Desa Katu yang terusir oleh kolonial Belanda.
Sebelum ada campur tangan dari Belanda, masyarakat Desa Katu menggunakan sistem pertanian ladang berpindah. Namun, budaya bertani seperti ini dianggap merusak oleh Kolonial Belanda. Lalu menawarkan pertanian sawah.
Masyarakat tidak mudah beradaptasi dengan cara pertanian seperti itu, pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengatur strategi dengan memaksa masyarakat membayar pajak. Terbentuklah janji kesepakatan untuk menanam kopi di area yang mereka tinggali yang hasilnya untuk memenuhi pajak.
Masyarakat Katu akhirnya terpecah-pecah, mereka kemudian tersebar, konon menetap di wilayah yang kini disebut Desa Hanggira, Desa Baliura hingga beberapa desa di Kecamatan Lore Tengah.
Perkiraan peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1908 sehingga disebut kopi tua oleh masyarakat lokal.
Berangkat dari cerita dari tutur dari seorang tokoh adat, Talu Mengunde–tokoh adat yang satu-satunya saksi sejarah kopi tua.
Perlu waktu sekitar 3 jam dengan berjalan dari pemukiman warga untuk mencapai hutan kopi. Di Padang Rante masih terdapat kuburan tua, di tengah padang ilalang itu jadi saksi keberadaan permukiman leluhur warga Katu terdahulu.
Hutan kopi, meski usianya sudah berusia ratusan tahun, kopi tua masih menumbuhkan buahnya dan kerap dimanfaatkan warga lokal hingga saat ini.
Tidak seperti kopi yang pada lazimnya seukuran tanaman perdu, batang pohon kopi ini tumbuh menjulang tinggi hampir sejajar dengan pohon-pohon hutan.
Sehingga menjadi tantangan untuk memanennya. Terkadang orang mengambil jalan pintas dengan menebang untuk menjangkau buahnya.
Kisah-kisah kopi tua ini kemudian diabadikan dalam film “Kopi Tua Desa Katu” yang ditayangkan lewat nobar dan diskusi film di Festival Tampo Lore ke-IV, Sabtu (28/06) malam.
Film dokumenter berdurasi 25 menit itu, sebuah inisiatif mandiri dari Jurnalis Wanita Indonesia (Juwita) yang disutradarai oleh ketuanya, Kartini Nainggolan.
Tak hanya menonjolkan keindahan alam dan budaya lokal, dalam film menggambarkan hubungan erat antara sejarah kopi dan identitas masyarakat Desa Katu.
Ketua JUWITA, Kartini Nainggolan, menjelaskan bahwa Kopi Tua Desa Katu merupakan langkah awal untuk mendokumentasikan jejak kopi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
“Ini adalah salah-satu langkah awal untuk mempekenalkan mendokementasikakan soal kopi tua. Supaya ceritanya tidak berhenti di saya yang memang orang Katu,” jelas mantan sekertaris Aliansi Jurnalis Independen itu.
Ia menyadari bahwa produksi film masih banyak perlu perbaikan, terkait riset sejarah maupun pengetahuan mendalam lainnya tentang kopi tua. Karena itu Ia memohon dukungan dan terbuka soal kritik dan saran demi penyempuraan film
“Kami merekam dengan peralatan sederhana, jadi masih banyak kekurangan. Kami sangat terbuka pada masukan penonton untuk menyempurnakan karya ini,” ungkapnya.
Dalam waktu dekat juga JUWITA ingin melanjutkan produksi film dengan fokus yang lebih dalam pada potensi kopi di Desa Katu maupun di desa lainnya di Sulteng.
Reporter: Mun