POSO- Jurnalis Wanita Indonesia (JUWITA) menggelar nonton bareng (nobar) sekaligus diskusi film dokumenter berjudul Kopi Tua Desa Katu, di Festival Tampo Lore, di Desa Hangira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sabtu (28/6).
JUWITA, organisasi yang dibentuk sebagai ruang penguatan peran jurnalis perempuan serta pemberdayaan masyarakat melalui karya jurnalistik, dokumentasi, dan advokasi komunitas membuat film dokumenter, berkolaborasi dengan Alfatwa Multimedia untuk mengangkat kisah kopi dan kehidupan masyarakat di Desa Katu.
Film berdurasi sekitar 25 menit tersebut , tidak hanya menyuguhkan visual alam dan kebudayaan lokal, namun juga mengetengahkan keterikatan erat antara sejarah kopi dengan identitas warga Desa Katu.
Ketua JUWITA, Kartini Naingolan, mengungkapkan bahwa film tersebut adalah upaya awal JUWITA untuk merekam jejak kopi yang berakar dalam kehidupan warga Katu. “Banyak kekurangan, karena kami hanya menggunakan peralatan seadanya sehingga butuh masukan dari penonton,” ujarnya.
Ia mengatakan dalam waktu dekat juga JUWITA ingin melanjutkan produksi film dengan fokus lebih dalam pada potensi kopi di Desa Katu, maupun di desa lainnya di Sulteng.
“Film Kopi Tua Desa Katu mungkin seperti profil desa, karena didalaminya juga banyak menceritakan tentang kondisi penduduk, geografis, sejarah, budaya dan lainnya. Akan tetapi kami tidak berhenti di situ saja karena kami akan melanjutkan film lebih fokus pada kopi tertua yang masih ada sampai sekarang,” tegas Kartini.
Salah satu masukan datang dari Ketua AMSI Sulteng, Mohammad Ikbal, yang mengapresiasi struktur visual dan narasi film, namun mengkritisi penggunaan voice over berbasis AI.
“Naskahnya sudah rapi, gambar juga cukup kuat. Tapi kalau narasinya dibacakan AI, rasa filmnya berkurang. Akan lebih menyentuh jika disuarakan langsung oleh anggota JUWITA atau bahkan warga Katu sendiri,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar ekspedisi yang ditampilkan dalam film diperluas agar lebih hidup.
Selain itu jurnalis foto BMZ dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu menilai film Kopi Tua Desa Katu memiliki dua fokus yang sama kuat yakni kopi dan Desa Katu.
“Harus diputuskan dari awal karena ini tentang kopi tua atau tentang Desa Katu? Karena pembuka film menentukan arah cerita. Kalau tentang Katu, maka desa harus muncul lebih dulu. Kalau tentang kopi, ya kopi yang ditonjolkan dari awal,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya riset mendalam agar visual dan cerita lebih terfokus.
Menurut Basri Film Kopi Tua Desa Katu patut diapresiasi karena dibuat oleh jurnalis perempuan yang punya konsen pada pemberdayaan desa maupun potensi di daerah.
“Langkah JUWITA ini tak hanya memperkenalkan kekayaan budaya lokal, tapi juga mendorong lahirnya karya dokumenter,” tutup Basri.
Reporter : **/ IKRAM