PALU- Mengevaluasi 100 hari kerja Gubernur Anwar Hafid dan Wakil Gubernur Reny A. Lamadjido, di Hari Lingkungan Hidup, Solidaritas Perempuan (SP) Palu yang tergabung dalam Fraksi Bersih-Bersih Sulawesi Tengah, melakukan aksi damai di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Jumat (13/6).

Solidaritas Perempuan Palu menyoroti krisis lingkungan yang terjadi akibat masifnya aktivitas pertambangan dan industri yang terjadi di Sulteng, di antaranya oleh berbagai pertambangan dan industri Nikel yang berada di Morowali, pertambangan galian C di Donggala, berbagai tambang emas seperti di Kota Palu, dan Pargi Moutong.

Selain itu, maraknya perampasan tanah dan pembukaan lahan atas investasi dan pembangunan seperti yang dilakukan oleh Badan Bank Tanah yang berada di Desa Watutau, Kabupaten Poso.

Situasi-situasi ketidakadilan yang terjadi mengakibatkan masyarakat, khususnya perempuan menanggung beban berlapis.

SP Palu juga menyoroti situasi Perempuan Buruh Migran di Kabupaten Sigi yang terus meningkat, bekerja ke luar negeri secara unprosedural. Padahal dahulu masyarakat Sigi dominan bekerja sebagai petani dan berkebun, namun karena krisis iklim yang berakibat pada bencana Iklim seperti kekeringan dan banjir, serta belum pulihnya lahan pertanian akibat gempa bumi sehingga membuat perempuan kehilangan pekerjaan. Dalam situasi sulitnya mendapat pekerjaan, membuat perempuan harus segera memenuhi kebutuhan ekonominya dan ekonomi keluarganya dengan bekerja ke luar negeri.

“Padahal ketika perempuan menjadi buruh migran dengan tidak tercacat di negara, maka perempuan rentan mengalami berbagai tindakan kekerasan seperti kekerasan fisik, kekerasan mental, beban ganda, eksploitasi tenaga dan ekploitasi seksual, berbagai kekerasan ini dialami perempuan dikarenakan sampai saat tidak adanya peraturan dan implementasi peraturan yang benar-benar menjamin perlindungan bagi perempuan buruh migran,” kata Elsa, staff PBM SP Palu.

Menurutnya, data kasus PBM yang ditangani oleh SP Palu, rata-rata perempuan yang berangkat dengan unprosedural mengalami indikasi perdagangan manusia (trafficking), mengalami kekerasan mental, eksploitasi tenaga, kekerasan seksual, gaji tidak dibayarkan, perampasan dokumen identitas dan pelarangan komunikasi dengan keluarga, intimidasi, berbagai tuduhan yang berakibat hukum di negara penempatan.

“Perempuan buruh migran yang bekerja keluar negeri mempunyai tujuan besar untuk memperbaiki perekonomian keluarganya. Perempuan buruh migran adalah penyumbang devisa negara, seharusnya pemerintah melakukan perlindungan yang lebih masif.

“Banyak PBM yang lebih memilih berangkat secara unprosedural karena dianggap lebih mudah, sehingga jangan sampai sosialisasi yang dilakukan oleh calo-calo tidak resmi lebih masif daripada sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terkait migrasi aman,” katanya.

Menurut Staff Kampanye SP Palu, Amalia, masifnya industri nikel PT. IMIP di Morowali menyempitkan ruang hidup, mata pencaharian, dan sumber penghidupan perempuan terutama perempuan yang marginal yang tak bertanah. Banyak perempuan yang sebelumnya bekerja sebagai petani dan nelayan terpaksa beralih pekerjaan menjadi pengepul botol bekas, pedagang kecil, pekerja pembersih ikan bahkan ada yang sudah tidak bekerja. Sudah terlihat jelas dampak besar adanya perusahaan yang memiskinkan perempuan.

“Pemberian izin untuk perluasan lahan perusahaan di Morowali sana sangat berdampak besar bagi perempuan terkhusus petani dan nelayan. Diambil lahannya dan dicemari lautnya, menghilangkan sumber kehidupan dan semakin memiskinkan perempuan,” kata Amalia.

Di Desa Watutau khususnya, Kabupaten Poso terjadi konflik agraria karena hadirnya Badan Bank Tanah yang membuat perempuan kehilangan tanah yang menjadi sumber pangan dan ekonominya. Adanya Badan Bank Tanah juga berdampak pada hilangnya identitas perempuan sebagai masyarakat akibat kehilangan wilayah adatnya.

Oleh karena itu, SP Palu menyuarakan 3 tuntutan yaitu implementasi Perda Pengakuan Masyarakat Adat di Morowali,
Stop perluasan kawasan industri yang merampas ruang hidup perempuan, memiskinkan perempuan, penghilangan sumber ekonomi dan sumber-sumber penghidupan perempuan.

“Stop pengrusakan lingkungan demi investasi yang memperkaya oligarki dan memiskinkan perempuan. Wujudkan Peraturan yang benar-benar melindungi perempuan buruh migran!” Tuntut SP Palu.

Reporter: IRMA/Editor: NANANG